Predator Anak Marak, Bagaimana Negara Menindak?
Oleh : Mial, A.Md.T (Aktivis Muslimah)
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Choiri Fauzi mengecam tindakan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap anak berinisial DCN (7) di Banyuwangi, Jawa Timur. Ia memastikan bahwa Kementerian PPPA akan mengawal proses hukum kasus tersebut, sekaligus memberikan pendampingan terhadap keluarga korban.
Kasus predator anak sebagaimana di Banyuwangi juga marak di beberapa daerah lainnya. Di Aceh Utara, polisi menangkap tiga pelaku pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap A (14) warga Lhoksukon, Aceh Utara pada Senin (11-11-2024) dan masih banyak kasus lainnya.
Anak Terancam
Jika kita mencermati realitas ini, jelas kondisi anak kian terancam. Keluarga atau orang dekat yang semestinya turut menjaga dan melindungi anak-anak justru menjadi pelaku kejahatan terhadap anak yang tidak jarang berakhir dengan pembunuhan.
Data ini semestinya menjadi alarm keras bagi penguasa. Ini kasus yang tercatat, sedangkan yang tidak tercatat sangat mungkin lebih banyak lagi. Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di masyarakat tidak bisa diabaikan. Penyebabnya tidak hanya satu atau dua faktor, melainkan beragam. Yang lebih miris, kekerasan seksual dengan korban anak laki-laki justru meningkat tajam.
Jika sudah begini, apa yang bisa kita harapkan dari sistem demokrasi saat ini? Berbagai lini penjagaan moral masyarakat sudah rapuh, bahkan runtuh. Keluarga yang katanya tempat teraman bagi anak, ternyata malah tidak kalah berbahaya dibandingkan dunia luar.
Dampak Sekularisme
Tidak hanya keluarga, masyarakat di lingkungan tempat tinggal juga tidak bisa sepenuhnya memberikan jaminan perlindungan dan keamanan terhadap anak. Banyak lingkungan sosial yang individualistis sehingga mematikan rasa peka dan peduli terhadap kemalangan atau musibah yang menimpa sesamanya.
Terlebih negara yang merupakan pengambil kebijakan ternyata justru menerapkan sistem dan tata kehidupan sekuler liberal. Para pejabat tidak peduli bahwa kebijakan-kebijakan yang mereka terapkan berdampak buruk pada masyarakat dan generasi muda.
Lihat saja situs-situs porno yang hingga kini tidak kunjung diblokir total, kendati kegelisahan masyarakat akan dampak buruknya sudah sejak lama bergaung. Selain itu, keberadaan media—terlebih media sosial—saat ini cenderung menjadi instrumen untuk menderaskan ide-ide liberal, seperti pornografi dan pornoaksi, secara langsung di gawai masing-masing individu. Hal ini mencerminkan lemahnya filter media. Ditambah tipisnya kadar keimanan individu, akhirnya mendukung pengabaian mereka pada standar halal-haram.
Kondisi bobrok ini tidak berdiri sendiri. Ada sistem pendidikan sekuler yang turut menunjangnya, juga ide kebebasan berperilaku dan mandulnya sistem sanksi. Sistem sanksi yang berlaku tidak mampu memberi efek jera pada pelaku. Predator seksual setelah bebas dari penjara bukannya bertobat, malah bisa lebih jahat dan buas dalam mencari mangsa.
Ini semua adalah dampak penerapan sistem sekuler yang merusak naluri dan akal manusia. Ini juga menegaskan abainya penguasa terhadap pembinaan moral warganya. Pemisahan agama dari kehidupan telah mengubah persepsi mereka akan kehidupan sehingga didominasi oleh hawa nafsu. Sekularisme telah membuahkan perilaku rusak dan merusak yang benar-benar jauh dari fitrah manusia. Pemikiran sekuler menguasai manusia sehingga membuahkan perilaku serba bebas dan serba boleh.
Tidak Cukup Peran Keluarga
Mencermati pelaku dalam kasus-kasus kekerasan seksual yang mayoritas orang terdekat ini, jelas mustahil mengandalkan keluarga sebagai tumpuan utama untuk melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Tidak mungkin pelaku yang merupakan salah satu anggota keluarga yang sama malah diminta berperan melindungi anak-anak dari kekerasan seksual.
Di samping itu, faktor ketakutan korban untuk melapor juga menguntungkan pelaku. Dalam hal ini, korban harus berani mengungkapkan tindakan kemaksiatan yang menimpanya, setidaknya kepada orang terdekat yang benar-benar bisa dipercaya. Begitu pula masyarakat di sekitar tempat tinggal korban harus peduli dan memiliki fungsi kontrol sosial yang mumpuni. Masyarakat tidak boleh individualistis. Bagaimanapun, kekerasan seksual adalah tindak kriminal yang keji.
Faktor-faktor yang mempercepat proses terjadinya pun harus diberantas hingga tuntas. Media harus menjadi instrumen positif, bukan malah disalahgunakan untuk menderaskan ide sekuler liberal. Satuan-satuan pendidikan pun tidak boleh tersusupi ide-ide liberal.
Demikian halnya keberadaan payung hukum yang akan memberikan keadilan bagi korban harus memberikan sanksi yang tegas dan menimbulkan efek jera bagi pelaku sehingga terwujud keadilan yang nyata.
Islam Menjaga Generasi
Seluruh narasi dalam rangka menanggulangi kekerasan seksual jelas mustahil lahir dari sistem yang sama-sama liberal, sebagaimana sistem yang menumbuhsuburkan tindakan bejat itu. Sebaliknya, kita membutuhkan sistem yang memiliki standar halal-haram yang hakiki. Itulah sistem sahih, sistem Islam.
Dalam Islam, generasi adalah aset peradaban sehingga harus dijaga, dibina, dan diberdayakan dengan sebaik-baiknya. Islam bahkan memosisikan generasi tidak hanya sebagai aset dunia, tetapi juga akhirat. Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim [66]: 6). Juga dalam ayat, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS An-Nisa [4]: 9).
Rasulullah saw. bersabda, “Jika seseorang meninggal dunia, terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh.” (HR Muslim).
Islam memberikan solusi komprehensif untuk menanggulangi kekerasan seksual yang dalam hal ini terdiri atas tiga pilar. Pertama, individu yang bertakwa. Kedua, masyarakat yang memiliki pemikiran dan perasaan Islam sehingga aktivitas amar makruf nahi mungkar adalah bagian dari keseharian mereka. Ketiga, negara yang menerapkan sanksi tegas sehingga keadilan hukum akan tercapai.
Individu yang bertakwa lahir dari keluarga yang menjadikan akidah Islam sebagai landasan kehidupan. Keluarga yang terikat dengan syariat Islam kafah akan melahirkan orang-orang saleh yang enggan berlaku maksiat.
Keluarga tersebut tentu tidak bisa berdiri sendiri. Mereka perlu lingkungan tempat tinggal yang nyaman bersama masyarakat yang kondusif. Masyarakat tersebut harus memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama-sama bersumber dari syariat Islam, demikian pula landasan terjadinya pola interaksi di antara mereka.
Mereka tidak akan bersikap individualistis karena mereka meyakini bahwa mendiamkan kemaksiatan sama seperti setan bisu. Ini sebagaimana perkataan sebagian ulama dari generasi salaf saleh, “Orang yang diam dari (menyampaikan) kebenaran adalah setan akhras (setan yang bisu) dan orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan nathiq (setan dari manusia yang berbicara dengan kebatilan).” Jelas, mereka akan mengambil berbagai kesempatan untuk senantiasa menyampaikan dakwah dan kebenaran.
Terakhir, yakni negara yang menerapkan aturan Islam kafah (Khilafah) sehingga mampu mewujudkan sanksi tegas bagi pelaku tindak kriminal dan pelanggaran aturan Islam. Sistem sanksi dalam Islam mampu berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya.
Untuk perempuan korban pemerkosaan, seluruh fukaha sepakat perempuan itu tidak dijatuhi hukuman zina (had az zina), baik hukuman cambuk 100 kali maupun hukuman rajam (Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami, Juz 2 hlm)
Jika perempuan itu mempunyai bukti (al bayyinah) pemerkosaan, yaitu kesaksian empat laki-laki muslim, atau jika laki-laki pemerkosa mengakuinya, laki-laki itu dijatuhi hukuman zina, yaitu dicambuk 100 kali jika dia belum pernah menikah (ghairu muhshan) dan dirajam hingga mati jika dia sudah pernah menikah (muhshan).
Tidak hanya itu, Khilafah akan mengawasi seluruh kanal media sehingga berperan untuk syiar dakwah. Konten-konten yang mengantarkan atau nyata-nyata mengandung kemaksiatan akan dilarang. Dengan begitu, hanya konten-konten yang sesuai hukum syariat saja yang akan disiarkan.
Dengan demikian jelas bahwa hanya sistem Khilafah yang mampu mewujudkan perlindungan hakiki bagi anak-anak dari kejahatan predator seksual. Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar