SOLUSI DEGRADASI MORAL GENERASI

 

Oleh: Inge Oktavia Nordiani


Kehidupan selalu berjalan berdampingan dengan bentuk-bentuk kehidupan. Perubahan niscaya terjadi mengikuti perkembangan pola pikir manusia, sehingga hal tersebut mempengaruhi karakteristik generasi dari waktu ke waktu.


Kita ketahui bahwasanya di zaman kakek-nenek kita di tahun 1946 - 1964 di klasifikasikan sebagai Generasi Baby Boomers yang alat komunikasi pada saat itu menggunakan surat. Di tahun 1965 - 1976 dikategorikan sebagai Generasi X yang alat komunikasi pada saat itu menggunakan kontak yang biasa digunakan untuk kopi darat, televisi dan radio. Di tahun 1977 - 1995 dikenal dengan Generasi Y atau generasi milenial yang pada saat itu telah ditemukan telepon genggam sederhana sebagai alat penghubung komunikasi. Dan di tahun 1996 - 2010 dikenal dengan istilah Generasi Z yang pada saat itu fungsi telepon genggam telah jauh lebih sempurna.


Begitu pula kelahiran 2010 hingga saat ini, dikenal dengan Generasi Alfa. Variasi kecanggihan teknologi telah memanjakan penggunanya. Begitu seterusnya hingga nanti kita akan menyambut kelahiran Generasi Beta di tahun 2025 hingga 2039.


Pada masing-masing karakteristik generasi ini tentu akan kita dapati kelebihan dan kekurangan. Mulai dari kualitas individu hingga bagaimana karakteristik generasi ini dalam memecahkan sebuah permasalahan. Apapun jenis karakteristiknya, yang penting untuk diketahui bahwa seorang remaja itu memiliki sebuah fitrah yaitu potensial untuk melejitkan dirinya. Di masa-masa inilah merupakan masa matang baik secara fisik maupun psikis. Karakter-karakter yang dimiliki seperti energik, kritis, dinamis dan juga kepemimpinan.


Ir. Soekarno pernah menyampaikan perkataan tentang pemuda, "Beri aku 1000 orang tua maka akan kucabut Semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia." Ini menunjukkan betapa berdayanya kualitas pemuda. Namun apa yang sebenarnya hari ini kita dapati dari generasi?   Moral generasi hari ini tampak tidak baik-baik saja. Ibarat fenomena gunung es. 


Banyak remaja yang bukan hanya menjadi korban tetapi juga menjadi pelaku sebuah keburukan. Kejadian-kejadian tragis seperti bunuh diri semakin hari semakin meningkat korban jiwanya. Berdasarkan penelitian, mulai tahun 2019 yang memakan korban 230 jiwa hingga tahun 2023 meningkat menjadi 1.226 jiwa.


Kasus-kasus pembunuhan pun masih tinggi hingga muncul pelaku yang bukan orang dewasa melainkan seorang remaja. ini terjadi di Lebak bulus Jakarta. Anak semata wayang ini nekat membunuh ayah, nenek dan juga ibunya dengan menggunakan pisau dapur. Diduga akibat tekanan berprestasi oleh kedua orang tuanya.


Kualitas remaja hari ini tidak jarang minus adab terhadap guru. Alih-alih siswa santun dan memematuhi aturan sekolah, beberapa kejadian justru siswa melaporkan ke orang tua dan orang tua melaporkan guru ke polisian. Belum lagi permasalahan gaul bebas yang variatif antara lawan jenis bahkan sesama jenis masih subur terjadi di negeri tercinta ini. Bahkan beberapa waktu ini terjadi di Bangkalan Madura, seorang laki-laki membacok dan membakar pacarnya gara-gara cekcok kehamilan yang tidak diinginkan. Belum lagi kasus2 inces (rudapaksa sedarah) juga marak terjadi.


Permasalahan yang kompleks terjadi di atas memberikan tanda kegentingan moral generasi. Penyebab dari kasus-kasus di atas bermuara pada kehidupan sekulerisme yang memang mendominasi kehidupan. Kehidupan sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) berimplikasi pada:


Pertama, energi negatif terlalu banyak di lingkungan sekitar sementara energi positif dari dalam rumah minim. Hari ini orang yang lebih tua tidak selalu memberikan tauladan yang baik. Justru banyak dari mereka menjadi pelaku keburukan. 


Kedua, miskonsepsi tentang tujuan hidup dan makna cinta. Berhasilnya upaya Ghazwul Fikri (perang pemikiran) yang sengaja digencarkan memporak-porandakan nilai yang dimiliki seseorang tentang arah hidup dan makna cinta. Tujuan hidup yang seharusnya dipahami hanya untuk beribadah kepada Allah menjadi terpenuhinya segala aspek yang sifatnya materi belaka. Begitu pula makna cinta yang disempitkan sebatas suka sama suka, tanpa memandang sakralnya makna pernikahan.


Ketiga, kurang persiapan bekal menghadapi gadget. Kehidupan belantara yang ada di dalam gadget sangatlah bebas yang itu sangat mempengaruhi pribadi remaja. Tidak sedikit dari remaja yang terjebak pada tontonan-tontonan yang merusak bahkan menjerumuskan mereka seperti pornografi. Hal tersebut di atas mengantarkan pada mental "illness" (mentalnya tercederai) pada generasi.


Mental illness yang tengah menjangkiti remaja sehingga menyebabkan degradasi moral remaja ini mendesak untuk diberikan solusi yang tepat. Mengingat permasalahan bukan hanya terjadi pada ranah individu melainkan telah mengakar di dalam masyarakat, maka dibutuhkan sinergi dari individu masyarakat dan juga negara. Negara yang memiliki aturan sekaligus sanksi yang bisa diterapkan.


Peraturan yang seharusnya diterapkan adalah aturan yang berasal dari Dzat yang Maha Mengetahui, yaitu Allah SWT. Di dalamnya berisi panduan paripurna  untuk menjalankan. Negara yang menjamin terjaganya kemurnian akidah umat dan mengedukasi langsung umat dengan Islam. Dengan demikian segala bentuk kerusakan, khususnya dalam perkembangan generasi akan mampu ditekan dan beralih pada pencapaian ketakwaan.[]


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak