Sukabumi Dilanda Bencana, Saatnya Muhasabah
Oleh. Mila Ummu Muthiah
Nyaris setiap hari berbagai macam bencana melanda di beberapa wilayah Indonesia. Teranyar, banjir besar yang melanda wilayah Kabupaten Sukabumi. Dilansir dari detik.com (5-12-2024), BPBD mencatat total bencana alam Kabupaten Sukabumi sebanyak 166 titik. Secara rinci, pergerakan tanah terjadi di 17 titik, tanah longsor di 66 titik, banjir 35 titik, dan angin kencang 15 titik. Akibatnya, 98 KK dengan 247 jiwa terpaksa mengungsi, 3 orang meninggal dunia, 4 orang tertimbun longsor, dan warga terancam sebanyak 143 KK dengan 239 jiwa.
Menurut Dikki Achmad Sidik selaku Kepala Dinas SDM Provinsi Jawa Barat, bencana banjir yang melanda diakibatkan oleh luapan sejumlah sungai hingga merendam beberapa kecamatan di Kabupaten Sukabumi. Dikky menilai, bencana banjir kali ini tergolong ekstrem, terutama yang terjadi pada Selasa (3/12) dan Rabu (4/12).
Isu Lingkungan
Sebenarnya rentetan bencana alam di Sukabumi telah terjadi sejak awal November 2024 atau selama sebulan belakangan ini. Ketika itu, 66 lokasi di Sukabumi mengalami banjir, longsor, beberapa pohon tumbang, dan puluhan rumah warga mengalami kerusakan. Bencana alam tersebut terjadi setelah hujan deras mengguyur sebagian besar wilayah Sukabumi, ditambah buruknya kondisi saluran drainase yang tidak dapat menampung aliran air. Akibatnya air hujan meluap dan merendam permukiman warga.
Sukabumi dikenal dengan keindahan panorama alamnya yang indah, mulai dari air terjun, pegunungan, hingga pantai. Sayangnya di balik pesonanya, secara geografis Sukabumi memiliki kerentanan terhadap berbagai jenis bencana alam karena berada di wilayah dengan aktivitas tektonik yang tinggi dan memiliki topografi yang beragam.
Topografi yang berbukit-bukit menyebabkan wilayah Sukabumi rentan terhadap longsor, terutama jika curah hujan tinggi selama berhari-hari. curah hujan tinggi membuat kawasan perbukitan dan tebing-tebing curam mengalami pergerakan tanah.
Adapun fenomena tanah bergerak disebabkan perubahan penggunaan lahan di kawasan pegunungan yang sudah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun. Artinya, proses perubahan tersebut disebabkan oleh ulah manusia dan tidak terjadi secara mendadak.
Salah satu bentuk perubahan yang paling mencolok terjadi pada pemotongan lereng gunung untuk pembangunan jalan. Alhasil, secara langsung mengganggu stabilitas lereng akibat adanya peningkatan sudut kemiringan gunung pada sisi kiri dan kanan jalan.
Selanjutnya, permukiman mulai bermunculan di sekitar jalan, sehingga penduduk sering kali membersihkan lahan dengan menebang pohon, melakukan pemotongan lereng untuk pembangunan rumah. Hal ini membuat daya kohesi tanah menurun dan semakin meningkatkan sudut kemiringan lereng. Padahal semakin banyak dan beratnya bangunan di sekitar lereng membuat stabilitas tanah menurun dan memunculkan retakan yang semakin lebar.
Muhasabah
Allah Swt. berfirman dalam Al-Quran Surah Al-Mukminun ayat 18, yang artinya “Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran. Lalu kami jadikan air itu menetap di bumi dan sesungguhnya kami Maha kuasa melenyapkannya”.
Hujan adalah rahmat dan sedemikian teliti Allah Swt. menggambarkan proses terjadinya. Karena itu, seharusnya curah hujan seimbang dengan fungsi ekologis bagi suatu kawasan. Namun, ketika terjadi kerusakan lingkungan oleh ulah tangan manusia, maka hujan yang seharusnya menjadi rahmat berubah menjadi bencana alam.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia…..”. (QS. Ar-Rum: 41)
Oleh karena itu, solusi yang tepat adalah dengan kembali kepada aturan Islam sebagai pedoman hidup dan bernegara. Penguasa yang peduli dengan keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya tercermin dari pembangunannya yang tidak eksploitatif dan berambisi mengejar angka-angka semu pertumbuhan ekonomi.
Memang benar jika bencana merupakan ketetapan Allah Swt. Yang bisa terjadi kapan dan di mana pun. Namun, bencana juga sebagai alarm peringatan bagi manusia untuk kembali menjaga bumi. Sebab sebenarnya Islam memberi tuntunan untuk mencegah dan menuntut manusia bagaimana cara mencegah bencana alam, termasuk dalam hal mitigasi.
Secara umum, mitigasi merupakan serangkaian upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi risiko bencana, baik melalui peningkatan kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana maupun melalui pembangunan fisik, dan penyadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
Dalam Islam, penguasa bertanggung jawab penuh mengatur mitigasi karena menyangkut fungsinya sebagai pemimpin atau raa’in. Sedangkan aktivitas tolong-menolong atau memberi bantuan yang dilakukan masyarakat adalah kebaikan yang dianjurkan agama.
Dalam hal ini, pemimpin Islam akan membuat berbagai kebijakan khusus, mulai dari penataan lingkungan yang dikaitkan dengan strategi politik dan ekonomi untuk menjamin kesejahteraan setiap individu masyarakat. Juga sistem keuangan, pertanahan, dan sanksi untuk mencegah pelanggaran yang memicu kerusakan lingkungan. Wallahu ‘alam bishawwab. []
Komentar
Posting Komentar