Wellcome to pajak ala Kapitalis, Pajak dalam Islam emang Ada?

Oleh : Aisyah, S.E (Aktivis Dakwah)

Bahas pajak ala kapitalis yukk!!

Aku Gen Z, yah pasti harus melek politik.

Bukan lagi isu, lebih tepatnya sudah ketuk palu, PPN (pajak pertambahan nilai) telah berlaku 1 Januari kemarin. Yah, ini adalah kado terbaik negara buat kita warga negara di awal tahun baru ini. Sabar yah ceunahh!!

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan sinyal kuat bahwa, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang diamanatkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) naik menjadi 12% pada Januari 2025 akan tetap dilaksanakan (CNBC, 25/12/2024)

Bahas pajak memang tak akan pernah ada habisnya, kok bisa? Yah iya, karena pajak merupakan pendapatan utama negara, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan dari pajak menjadi sumber utama dalam struktur penerimaan negara, mencapai 82,4% dari total pendapatan.

Kebayang nggak sih!! Pendapatan dari pajak setinggi itu, sisanya dari penghasilan non pajak (misalnya pengelolaan SDA).

Pajak adalah jalan ninja negara meraup pundi-pundi uang dari rakyat kecil. "Wellcome to pajak ala kapitalis".

Pajak dalam sistem sekarang bersifat "MEMAKSA" dan "WAJIB SEMUA WARGA NEGARA". Pajak bukan hanya satu jenis, pajak ada banyak jenis, ada pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB), dan lain sebagainya.

"Taxation and Economic Growth" oleh King dan Rebelo (1990) - Menemukan bahwa pajak yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Hal ini berarti salah satu kriteria negara berkembang/terbelakang adalah ketergantungan dari pajak, pajak dijadikan sebagai pendapatan utama negara.

Kenaikan pajak jelas mempengaruhi harga barang/produk. Pengamat ekonomi menilai kenaikan PPN 12% mampu menghambat minat beli masyarakat, dan berdampak pada  UMKM.

Jumlah penduduk di negeri ini memang besar, negara melihat ini sebagai potensi untuk menaikkan pajak, diperkirakan hasil dari kenaikan PPN ini mencapai 70-80 triliun. Nilai yang fantastis, tapi kalau ditelaah lebih jauh, ada sumber pendapatan yang lebih potensial dan tidak mempersulit rakyat. Penghasilan bukan pajak, hanya sekitar 20% saja, padahal dengan mengelola kekayaan alam yang melimpah mampu menutupi seluruh anggaran pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi di negara ini.

Kemana SDA yang melimpah itu? Jawabannya negara memberikan kepada swasta/asing dan mengambil sebagian kecil dari pajak yang dipungut dari perusahaan itu. Alhasil pendapatan dari SDA tidak optimal. Dan jalan pintas negara adalah dengan memungut dana pajak dari seluruh warga negara.

Pajak dalam Islam

Berbicara pajak, ternyata ada juga loh dalam Islam, namun bukan seperti realisasi pajak saat ini.

Yuk kita bahas!!

Pajak ala kapitalis berbanding terbalik dengan pajak dalam Islam. Pajak dalam Islam dinamakan "Dharibah".

Pajak yang diberlakukan dalam Daulah Islam jelas berbeda dengan pajak yang ditetapkan negara kapitalis, baik latar belakang, maksud, dan tujuan mereka. Berikut beberapa perbedaan dharîbah atau pajak antara Khilafah dan negara kapitalis.

Pertama, dharîbah hanya akan ditarik dalam keadaan darurat oleh negara karena hukum asal pajak adalah haram. "Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak" (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud, Al Hakim). Keadaan ini dapat terjadi ketika harta di baitulmal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan darurat rakyat, atau karena negara tidak memiliki cukup dana untuk mengatur urusan rakyat. Selain kondisi ini, penarikan pajak dianggap sebagai tindakan kezaliman.

Kedua, dharîbah ditarik secara selektif, tidak semua individu dikenakan pungutan. Dharîbah hanya akan dikenakan pada pihak-pihak yang mampu dan berkecukupan (kaya).

Ketiga, dharîbah dianggap sebagai pendapatan tambahan dalam APBN Khilafah, bukan sebagai pendapatan utama negara. Negara hanya akan memungut dharîbah jika terjadi keadaan darurat.

Sebaliknya, negara kapitalis menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Akibatnya banyak pungutan yang harus ditanggung sehingga beban pembiayaan masyarakat dan industri makin meningkat.

Dalam sistem kapitalisme, pajak juga dikenakan atas semua barang, transaksi, dan jasa, hal yang dilarang oleh syara'. Pungutan seperti ini merupakan bentuk kedzaliman atas hak harta orang lain. Islam telah melarang seluruh bentuk kezaliman dan pelanggaran hak milik orang lain.

APBN dalam Daulah Islam (khilafah) tidak menjadikan pajak sebagai pendapatan utama, bahkan hanya untuk kondisi darurat. Menurut Zallum (2003), pos pendapatan APBN Khilafah terdiri dari 12 jenis, yakni pendapatan dari harta rampasan perang (anfal, ganimah, fai, dan khumus); pungutan dari tanah yang berstatus kharaj; jizyah (pungutan dari nonmuslim yang tinggal di negara Islam); harta milik umum; harta milik negara; ‘usyur (harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri); harta tidak sah para penguasa dan pegawai negara atau harta hasil kerja yang tidak diizinkan syarak; khumus barang temuan dan barang tambang; harta kelebihan dari (sisa) pembagian waris; harta orang-orang murtad; dharibah; dan harta zakat. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah).

Gagasan Islam tentang pembentukan APBN sangat berbeda dengan APBN dalam sistem kapitalisme. Sumber daya utama pendapatannya dan cara pembelanjaannya berbeda. Sumber APBN Khilafah atau kas baitulmal sama sekali tidak bergantung pada sektor pajak.

Sistem Islam dalam naungan khilafah adalah sistem dengan aturan terbaik yang berasal dari Allah SWT Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta. Tidak ada kecacatan didalamnya, Islam telah mengatur jelas seluruh lini kehidupan termasuk yang sedang booming dibahas di sosial media yaitu pajak.

Jelas bedanya!!!

Masihkah kita menaruh kepercayaan sistem kapitalis sekuler yang diterapkan di negeri ini? Saatnya kembali untuk menjalankan Al-Qur'an dan Sunnah dalam Daulah Islam (Khilafah).

Wallahu'alam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak