Butuh Perubahan Sistem Pendidikan, Bukan Sekedar Ganti Nama
Oleh : Sri Idayani
(Aktivis Dakwah)
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (kemendikdasmen) resmi mengganti nama Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) untuk jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA). Penggantian nama SPMB diharapakan bukan sekedar nama baru, melainkan bentuk pemberian kepastian pendidikan bermutu yang tuntas, berkualitas, serta merata di seluruh Indonesia. Anggota DPD RI Fahira Idris berharap, transformasi PPDB menjadi SPMB menjadi langkah progresif dalam memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia, (Kamis, 30 Januari 2025).
Pemerintah kembali merombak sistem penerimaan siswa untuk tahun ajaran baru mendatang. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi bakal diganti dengan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) mulai tahun ajaran 2025/2026. Dalihnya menciptakan sistem penerimaan siswa yang lebih transparan, objektif, akuntabilitas tinggi, serta lebih inklusif bagi semua calon siswa. Namun, bukan berarti publik tidak boleh curiga. Pasalnya, banyak diketahui bahwa pejabat dan birokrat di Indonesia kerap merombak sistem atau istilah birokrasi untuk kosmetik belaka tanpa perubahan substansial, (Sabtu, 1 Februari 2025).
Perubahan nama dari Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) diharapakan dapat membawa perubahan aturan yang lebih baik. Perubahan aturan dalam penerimaan siswa tidak terlalu jauh berbeda, masih menggunakan sistem zonasi yang diubah menjadi jalur domisili. Dan juga jalur afirmasi, jalur prestasi serta jalur mutasi yang sudah ada pada PPDB sebelumnya.
Jalur domisili diperuntukkan bagi calon murid yang berdomisili di dalam wilayah administratif yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Perbedaannya dengan jalur zonasi yaitu jika zonasi mengacu pada jarak, sedangkan jalur domisili mengacu pada wilayah. Jalur afirmasi diperuntukan bagi siswa dari keluarga kurang mampu, sementara jalur prestasi untuk calon siswa yang memiliki prestasi di bidang akademik dan non-akademik. Adapun jalur mutasi bisa digunakan calon siswa yang pindah domisili karena perpindahan tugas orang dari orang tua atau wali serta untuk anak guru.
Meski tidak banyak perbedaan dalam jalur penerimaan calon siswa, hanya ada perubahan di jalur domisili dan penambahan untuk jalur prestasi yang awalnya hanya akademik dan nonakademik kini ditambah dengan kepemimpinan bisa dari OSIS atau Pramuka. Namun pada prakteknya masih banyak celah-celah untuk melakukan kecurangan. Pada PPDB 2024 lalu banyak terjadi kecurangan seperti pada jalur zonasi, anak dipindahkan dari kartu keluarga ke kartu keluarga kerabat yang jarak rumahnya dekat dengan sekolah yang dituju. Kemudian pada jalur afirmasi yang seharusnya untuk siswa dari keluarga kurang mampu, namun kenyataannya keluarga kurang mampu tidak mendapatkannya. Pada jalur prestasi juga ada yang sengaja membuat sertifikat palsu. Sedangkan jalur mutasi lebih banyak digunakan oleh anak dari ASN, belum lagi kecurangan dari pihak sekolah.
Mengapa calon siswa dan orang tua rela melakukan kecurangan demi masuk sekolah yang dituju? Sebab ada ambisi untuk masuk sekolah negeri yang dilabeli favorit. Serta sekolah negeri yang gratis, sedangkan biaya sekolah swasta mahal. Ketidak merataan pendidikan di masyarakat dan sekolah negeri yang memadai, membuat orang berbondong-bondong hanya menuju pada sekolah favorit tersebut.
Seharusnya negara berfokus pada pemerataan pendidikan bukan hanya sekedar ganti nama dan aturannya saja. Akses pendidikan yang tidak merata membuat ketimpangan sosial. Siswa yang ingin bersekolah namun jarak rumah yang jauh membuat tidak bisa diterima di sekolah yang dituju. Lantas mengapa tidak memilih sekolah dengan jarak yang lebih dekat. Dengan alasan fasilitas pendidikan yang kurang memadai, maka calon siswa memilih sekolah tadi. Disinilah peran negara dalam menjamin fasilitas pendidikan dan tenaga pendidiknya.
Dalam sistem saat ini pemerataan pendidikan tampak sulit terwujud, sebab negara hanya memberi bantuan besar pada sekolah negeri sedangkan sekolah swasta harus jatuh bangun untuk bertahan. Sekolah swasta yang bergantung pada iuran sekolah siswa, tentu lebih memilih menggunakannya untuk menggaji guru ketimbang memperbaiki fasilitas sekolah. Fasilitas yang buruk juga pasti akan mengurangi kenyamanan siswa dalam belajar.
Islam memandang pendidikan adalah hak setiap warga negara. Pendidikan termasuk layanan publik dan menjadi tanggung jawab negara. Layanan pendidikan harus gratis dan berkualitas baik sesuai dengan aqidah Islam. Mengapa pendidikan dalam Islam gratis? Karena pendidikan merupakan kewajiban dan hak dasar rakyat. Pendidikan harus di akses secara sama oleh seluruh warga negara. Negara memiliki pemasukan yang cukup untuk membiayai pendidikan, seperti pendapatan kepemilikan umum, kharaj, jizyah, infak dan sedekah. Dalam Islam, pendidikan di anggap sangat penting karena dapat menunjang taraf hidup dan posisi seseorang di hadapan Allah dan manusia. Jadi tidak ada sekolah negeri atau swasta dalam Islam, semua mendapat bantuan dan fasilitas yang sama.
Sedangkan untuk tenaga pendidiknya atau guru juga tidak ada ASN maupun honorer, semua di gaji sesuai kapasitasnya. Pada masa khilafah Umar bin Khattab gaji guru adalah 15 dinar per bulan. Sedangkan pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid gaji guru umum rata-rata adalah 2.000 Dinar per tahun atau setara dengan 166 dinar per bulan. Berat 1 dinar sekitar 4,25 gram emas, jika dikalikan dengan harga emas sekarang maka sangatlah besar jumlah gaji guru. Guru juga tidak akan dibebani dengan administrasi yang rumit. Para guru hanya akan berfokus pada pendidikan siswa dan mencetak generasi beraqidahkan Islam.
wallahu a'lam bishawab
Komentar
Posting Komentar