Korupsi Tidak Terbendung Akibat Sistem Sekuler yang Mendukung

Oleh : Mial, A.Md.T (Aktivis Muslimah)

Presiden RI Prabowo Subianto menyebut tingkat korupsi di Indonesia mengkhawatirkan. Ia menegaskan akan membasmi koruptor yang merugikan negara. Hal ini ia sampaikan pada forum internasional World Governments Summit 2025 di Dubai, Uni Emirat Arab yang ia hadiri secara virtual pada Kamis (13-2-2025).

Prabowo menilai bahwa korupsi merupakan akar dari berbagai kemunduran di sektor pendidikan, penelitian, dan pengembangan. Ia menegaskan komitmennya dalam memberantas korupsi, yang didukung oleh banyak pihak. Hal ini terlihat dari survei kepuasan publik terhadap pemerintahannya yang menunjukkan angka tinggi. Menurutnya pula, tata pemerintahan yang baik adalah kunci dalam upaya pemberantasan korupsi.

Tidak Sesuai dengan Kenyataan

Janji pemberantasan korupsi ini pernah Prabowo ungkapkan saat menyampaikan visi misi dalam debat pertama Pilpres 2024. Saat itu, ia berjanji akan memperbaiki pemerintahan, termasuk memberantas korupsi hingga ke akarnya. Namun, kenyataan berubah saat ia sudah terpilih menjadi presiden. Pada Desember 2024, ia sempat melempar wacana ke publik untuk memaafkan koruptor asalkan bersedia insaf.

Pasalnya, tidak dimungkiri juga bahwa hal ini berkelindan dengan rilis data Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang memasukkan nama Presiden ke-7 Indonesia Joko Widodo dalam daftar nominasi finalis tokoh kejahatan terorganisasi dan terkorup 2024. Menurut OCCRP, alasan memilih Jokowi bersama sejumlah nama pemimpin negara lainnya sebagai finalis tokoh terkorup berasal dari nominasi publik yang mendapatkan dukungan daring terbanyak secara global.

Sedangkan baru-baru ini kita mengetahui bahwa saat HUT ke-17 Gerindra di Sentul, Jawa Barat pada Sabtu (15-2-2025), Prabowo mengatakan bahwa dirinya berhasil menjadi pemimpin Indonesia berkat dukungan partai koalisi dan pendahulunya Presiden ke-7 RI Jokowi. Ia bahkan sempat memekikkan, “Hidup Jokowi.”

Ini semua menjadi sinyal kuat yang menunjukkan upaya pemberantasan korupsi pada rezim baru ini tidak sungguh-sungguh. Kenyataannya, sebagaimana kutipan dari laman resmi KPK (2022), para pelaku korupsi adalah para pegawai atau pejabat pemerintahan yang menempati posisi strategis. Alasan seseorang melakukan korupsi pun beragam. Terdapat teori GONE yang menjelaskan secara singkat faktor penyebab korupsi. Teori GONE yang dikemukakan oleh penulis Jack Bologna ini adalah singkatan dari greedy (keserakahan), opportunity (kesempatan), need (kebutuhan), dan exposure (pengungkapan).

Teori GONE mengungkapkan bahwa seseorang yang korupsi pada dasarnya serakah dan tidak pernah puas. Sungguh, tidak pernah ada kata cukup dalam diri koruptor yang serakah. Keserakahan yang ditimpali oleh kesempatan akan menjadi katalisator terjadinya tindak pidana korupsi. Seseorang juga berisiko melakukan korupsi jika memiliki gaya hidup yang berlebihan serta sanksi bagi pelaku tidak menimbulkan efek jera.

Tidak hanya itu, korupsi juga bisa menjelma dengan beragam wujud, bahkan ketika itu buah dari implementasi kebijakan negara. Adanya fenomena seputar skema “bagi hasil” atau kolusi antara pengusaha dan pejabat pemerintah merupakan bagian dari realitas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Aparat/pegawai negara menjadi fasilitator kejahatan terhadap rakyat. Mereka semua bekerja sama melanggar hukum negara, membawa kemudaratan bagi rakyat, dan mengancam kedaulatan negara.

Ini semua menegaskan bahwa negara telah kalah dengan para korporat yang memiliki banyak uang. Lagi-lagi pernyataan presiden untuk memberantas korupsi tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Korupsi bukanlah tindak pidana yang bersifat individual, melainkan jelas-jelas lahir dan tumbuh subur karena dukungan sistem yang berlaku.

Akibat penerapan sistem sekuler sebagaimana saat ini, pejabat yang terpilih bukanlah orang yang amanah. Sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang aji mumpung. Mumpung menjabat, mereka punya kesempatan luas untuk memperkaya diri, meski dengan menghalalkan segala cara. Mereka bahkan bisa mengangkat keluarga dan orang-orang terdekatnya untuk bersama-sama menjadi pejabat.

Produk Sistemis

Fenomena korupsi adalah bukti praktik korporatokrasi yang tidak lepas dari prinsip liberalisme dalam sistem ekonomi kapitalisme. Karakteristik korporatokrasi adalah adanya dukungan korporasi pada keterpilihan presiden dan dukungan tersebut berkonsekuensi pada ketergantungan. Tidak pelak, hal ini pun berimplikasi pada munculnya hukum, aturan, dan kebijakan yang berpihak pada oligarki.

Korporatokrasi ini sendiri terjadi secara kasat mata di negeri kita. Korporatokrasi meniscayakan kebijakan-kebijakan politik negara yang mengarah untuk melayani kepentingan korporasi besar. Praktik ini tentu saja sangat menguntungkan oknum-oknum pejabat pemerintah dari hasil kerjasamanya dengan pengusaha/konglomerat dalam suatu usaha ekonomi yang tidak sehat.

Sistem pemerintahan kita memang berisi oligarki dan berkarakter korporatokrasi. Kekuatan kapital telah menjadi faktor yang menentukan jabatan politik di negeri kita. Kekuasaan ditentukan oleh kekayaan dan sumbernya adalah korporasi.

Fenomena menguatnya korporatokrasi di negeri kita ditandai dengan lumpuhnya lembaga antirasuah KPK melalui revisi UU KPK. Kekuasaan Dewan Pengawas KPK yang besar berpeluang menjadi kepanjangan tangan presiden. Korupsi pun selalu dicirikan dengan kerja sama antara pejabat dengan pengusaha.

Lebih dari itu, korporatokrasi (corporate state) cenderung membentuk negara kriminal (criminal state) yang ditandai oleh kejahatan kerah putih (white collar crime). Ini adalah kejahatan terorganisasi dalam bentuk sindikat atau mafia, serta kejahatan perusahaan negara yaitu BUMN sebagai “sapi perah” politik.

Inilah realitas korupsi yang begitu masif dan terstruktur di negeri kita. Banyak pejabat yang jauh sekali dari profil sebagai pelayan umat, melainkan pelayan korporasi. Untuk itu, solusi korupsi tidak cukup hanya dengan cita-cita, kecaman, apalagi sekadar retorika. Penanggulangan korupsi secara tuntas haruslah dengan ganti sistem karena korupsi adalah produk sistem sekuler kapitalisme.

Penerapan Sistem Islam

Islam adalah sebuah ideologi yang perannya tidak hanya sebatas akidah ruhiah (spiritual) tetapi juga akidah siyasiah (politik). Sebagai ideologi, Islam harus diterapkan sebagai tata aturan kehidupan manusia secara kafah, bukan setengah-setengah. Sistem Islam diterapkan melalui tegaknya negara Islam (Khilafah).

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah di dalam kitab Ad-Daulah al-Islamiyah menyatakan bahwa Khilafah adalah sebuah negara yang akan dapat melanjutkan kehidupan islami yang aturannya terpancar dari akidah Islam. Khilafah menerapkan Islam di tengah-tengah masyarakat, setelah terlebih dahulu Islam merasuk ke dalam jiwa dan mantap di dalam akal. Khilafah juga berperan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Khilafah meneladan Rasulullah saw. saat mendirikan negara Islam di Madinah. Dalam membangun masyarakat, Rasulullah saw. mengarahkan pemikiran, perasaan, sistem (aturan), serta interaksi di antara mereka berdasarkan akidah Islam. Rasulullah saw. memerintah kaum muslim memelihara semua kepentingan mereka, mengelola semua urusan mereka, dan mewujudkan masyarakat Islam.

Hal ini dalam rangka membentuk masyarakat yang khas dan memiliki corak tertentu. Lebih dari itu, sistem Islam juga mampu melahirkan para individu masyarakat yang ber-syakhshiyah (berkepribadian) Islam. Penerapan Islam secara kafah akan membentuk pola pikir (akliah) dan pola sikap (nafsiah) islami pada diri mereka.

Metode Islam dalam kehidupan dibangun atas tiga prinsip. Pertama, asas yang mendasarinya adalah akidah Islam. Kedua, tolok ukur perbuatan dalam kehidupan adalah perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Artinya, gambaran kehidupan dalam pandangan Islam adalah halal dan haram. Ketiga, makna kebahagiaan dalam pandangan Islam adalah menggapai ketenangan abadi yang tidak akan tercapai kecuali dengan menggapai rida Allah.

Agar kaum muslim dapat mempertahankan metode kehidupan ini, Daulah Khilafah adalah negara yang akan menerapkan Islam dan melaksanakan hukum-hukum tersebut.

Rasulullah saw. juga mengangkat para wali untuk berbagai wilayah setingkat provinsi dan para amil untuk berbagai daerah setingkat kota. Ketika mengangkat para pejabatnya, beliau saw. memilih mereka yang paling dapat berbuat terbaik dalam kedudukan yang akan disandangnya, selain hati mereka yang dipenuhi dengan keimanan. Beliau juga bertanya kepada mereka tentang tata cara yang akan mereka jalani dalam mengatur pemerintahan.

Beliau saw. selalu mengirim para wali dari kalangan orang yang terbaik dari orang-orang yang telah masuk Islam. Beliau memerintahkan mereka untuk membimbing orang-orang yang telah masuk Islam dan mengambil zakat dari mereka.

Dalam banyak kesempatan beliau melimpahkan tugas kepada para wali untuk mengurus berbagai kewajiban berkenaan dengan harta, memerintahkannya untuk selalu menggembirakan masyarakat dengan Islam, mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka, memahamkan mereka tentang agama dan berpesan kepada para stafnya supaya bersikap lemah lembut kepada warga masyarakat dalam kebenaran, serta bersikap tegas dalam kezaliman. 

Beliau saw. mengangkat para kadi yang bertugas menetapkan keputusan hukum di tengah-tengah masyarakat. Beliau mengangkat seorang pencatat atau kepala untuk setiap urusan kemaslahatan yang ada, sebanyak apa pun jumlahnya. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang hamba yang Allah beri amanah kepemimpinan, tetapi ia tidak menindaklanjutinya dengan baik maka ia tidak dapat mencium bau surga.” (HR Bukhari).

Terkait dengan amanah jabatan, beliau saw. juga bersabda, “Barang siapa yang telah kami angkat untuk melakukan sesuatu tugas, lalu dia telah kami beri gaji, maka apa saja yang diambilnya selain daripada gaji adalah harta khianat (ghulûl).” (HR Abu Dawud).

Merujuk hadis tersebut, hadiah untuk pegawai itu termasuk ghulûl. Artinya, jika ada seorang pejabat pemerintah, kemudian ada orang lain yang memberikan hadiah berkenaan dengan tugas pejabat itu, hal itu termasuk ghulûl. Tidak halal bagi pejabat itu untuk mengambil hadiah yang ada sedikit pun, meski itu diberikan dengan senang hati.

Penanggulangan Korupsi

Terkait dengan korupsi, sungguh semua modus korupsi adalah harta yang hukumnya haram dalam Islam karena diperoleh melalui jalan yang tidak sesuai syariat (ghairu al-masyru’) (Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah). Allah Taala berfirman, “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 188). Rasulullah saw. juga melaknat perilaku yang demikian, sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah ra., “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap.” (HR Tirmidzi dan Ahmad).

Korupsi merupakan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa’in. Dalam hukum Islam, tindakan khaa’in tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) karena definisi mencuri adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa’ wal istitar). Sedangkan khianat bukanlah tindakan seseorang mengambil harta orang lain, melainkan tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu (Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah, An-Nizhamu al-Uqubat fii al-Islam).

Allah Taala berfirman, “Barang siapa yang mengambil harta khianat maka pada hari kiamat dia akan datang membawa harta hasil khianat itu. Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang dia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangkan mereka tidak dizalimi.” (QS Ali Imran [3]: 161).

Di dalam kitab An-Nizhamu al-Uqubat fi al-Islam karya Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah, disebutkan bahwa Khilafah mampu mewujudkan sanksi tegas bagi pelaku tindak kriminal dan pelanggaran aturan Islam. Sistem sanksi dalam Islam mampu berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya.

Sanksi (uqubat) untuk khaa’in bukanlah hukum potong tangan sebagaimana bagi pencuri (qath’ul yad) menurut kandungan QS Al-Maidah ayat 38, melainkan takzir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekadar nasihat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknis hukuman mati itu bisa digantung atau dipancung. Berat atau ringannya hukuman takzir ini disesuaikan dengan berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan (Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah, An-Nizhamu al-Uqubat fii al-Islam).

Demikianlah pemberantasan korupsi yang efektif. Jelas, pada hakikatnya kekuasaan adalah amanah. Amanah kekuasaan bisa menjadi beban pemangkunya di dunia sekaligus bisa mendatangkan siksa bagi dirinya di akhirat. Penanggulangan tuntas terhadap korupsi tidak bisa dengan sekadar kata-kata, tetapi harus dengan sanksi tegas yang membuat jera. Dalam sistem sekuler demokrasi, hal itu jelas mustahil karena landasan sistemnya adalah sekularisme yang melahirkan tata aturan sekuler dan liberal. Korupsi pun sulit dibendung karena sistem kehidupannya memang mendukung. 

Wallahualam bissawab. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak