Mitigasi Negara Lemah, Rakyat Terkena Imbasnya

Oleh : Mial,A.Md.T 

Banjir bandang menerjang Desa Ganda-Ganda, Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah pada Jumat (3-1-2025). Banjir terjadi di kawasan industri pertambangan nikel milik PT Surya Amindo Perkasa. Berdasarkan laporan yang terhimpun, terdapat satu orang meninggal dan tiga orang mengalami luka-luka. Menurut laporan BPBD Sulawesi Tengah, dampak banjir merusak kamp/selter di kawasan perusahaan dan para pekerja menyelamatkan diri ke tempat yang aman.

Mitigasi Lemah

Sebagai negara rawan bencana, fakta ini seharusnya tidak menjadi alasan bagi pemerintah melakukan mitigasi seadanya. Memasuki musim hujan dengan curah hujan tinggi, hampir setiap pekan kita disuguhi berita banjir di berbagai wilayah. Menurut data statistik bencana yang dihimpun oleh BNPB, terdapat 8.333 bencana banjir yang terjadi di Indonesia sepanjang 2014 hingga 2023. Meski selama 10 tahun terakhir grafik fenomenanya cenderung fluktuatif, sejak 2015 hingga 2020 data statistik kejadian banjir terus meningkat kecuali 2019.

Imbauan dan antisipasi kepada masyarakat, seperti membersihkan saluran air, memeriksa kondisi daerah aliran sungai, dan mempersiapkan evakuasi mandiri, semestinya tidak menjadi solusi andalan setiap kali musim hujan datang. Lemahnya negara melakukan mitigasi bencana membuat masyarakat terkena imbasnya. Bukan hanya kerugian materi, tetapi juga kesehatan dan keberlangsungan hidup mereka terganggu.

Ketakseriusan pemerintah terlihat dari beberapa wilayah menjadi langganan banjir tanpa ada tindakan nyata untuk mengatasinya. Negara malah sibuk membangun infrastruktur, melakukan alih fungsi lahan, mengubah tatanan kota agar bernilai estetik demi pariwisata, tetapi lupa melakukan tugas utamanya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat. Salah satunya adalah mitigasi dan antisipasi bencana yang terencana, terukur, dan tersistem. Kelalaian tanggung jawab ini mengakibatkan bencana ekologis di depan mata.

Bencana ekologis merupakan fenomena alam yang terjadi akibat adanya perubahan tatanan ekologi yang mengalami gangguan atas beberapa faktor yang saling memengaruhi antara manusia, makhluk hidup, dan kondisi alam. Salah satu contohnya ialah banjir bandang, kebakaran hutan, atau polusi udara. Banjir bandang yang terjadi di Morowali tidak sekadar bencana biasa. Banjir tersebut disinyalir akibat perluasan tambang nikel yang menyebabkan deforestasi dan degradasi lingkungan. Negara lemah melakukan pengawasan pertambangan sehingga perusahaan yang terduga melakukan pelanggaran kaidah lingkungan tidak ditindak secara tegas dan serius.

Begitu pun dengan banjir bandang yang terjadi di Dusun Peh, Desa Gunungsari, Kecamatan Maesan diperkirakan karena rusaknya hutan di daerah lereng Gunung Arguporo. Sebagian lahan hutan di lereng gunung Argopuro berubah menjadi lahan perkebunan. Hutan yang seharusnya ditanami tanaman keras justru beralih fungsi menjadi perkebunan yang tidak lagi memiliki akar yang sanggup menyerap air hujan dengan cepat. Pengalihan lahan dari hutan tanaman keras menjadi lahan perkebunan telah menghilangkan daya serap tanah yang seharusnya menjadi penyangga untuk mengendalikan aliran air. 

Rintihan warga Sekotong, NTB yang tertimpa banjir juga diduga akibat dari aktivitas pertambangan. Selain drainase yang buruk, kerusakan lingkungan di bukit-bukit yang ada menyebabkan air tidak terserap dan turun ke bawah bukit.

Bencana ekologis yang menimpa sejumlah daerah tidak hanya disebabkan musim dan intensitas hujan yang tinggi, tetapi juga ada faktor perbuatan manusia. Di antaranya adalah kebijakan yang mengabaikan perlindungan terhadap alam, yakni penerapan sistem kapitalisme yang destruktif.

“Bumi akan selalu mencukupi kebutuhan semua manusia, tetapi tidak untuk memenuhi keserakahan satu manusia.” Kalimat bijak itu sering kali kita dengar. Namun, kalimat ini juga sering terlupakan. Keserakahan manusia terhadap alam sangat kentara di sistem kapitalisme. Akibat keserakahan itu, masyarakat menerima dampaknya.

Sebuah riset yang dilakukan tim peneliti gabungan dari University of Göttingen, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memublikasikan laporan dalam jurnal Ecology and Society pada Agustus 2020. Laporan tersebut mengungkap alasan Indonesia dilanda bencana banjir lebih sering dan lebih parah, yakni perubahan tata guna lahan yang cepat, misalnya menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet di Indonesia telah berdampak pada siklus air lokal di negeri ini, salah satu dampaknya adalah berupa banjir.

Memahami fakta ini, harusnya negara tidak serampangan memberi ruang kebebasan bagi oligarki atau korporasi kapitalis untuk mengubah lahan serapan menjadi lahan bisnis yang mengabaikan keselamatan rakyat dan keseimbangan alam. Pertumbuhan ekonomi juga tidak bisa dijadikan dalih pembenar atas proyek pembangunan yang tidak mengindahkan dampak ekologis dalam jangka panjang.

Pengabaian ini tampak dari pernyataan Presiden yang berencana akan membuka 20 juta hektare lahan hutan menjadi lahan sawit. Ini hampir setara dengan dua kali luas Pulau Jawa. Alasannya, demi ketahanan pangan, energi, dan air. Selain itu, pernyataan Presiden yang menyebut pembukaan lahan sawit tidak membahayakan karena sawit juga pohon yang sama-sama menyerap karbon tentu sangat riskan.

Senada dengan KLHK, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo mengatakan, ambisi pemerintah memperluas lahan sawit dengan mengabaikan deforestasi adalah kesalahan besar. Kemampuan sawit dalam menyerap karbon tidak sebanding dengan emisi karbon yang dihasilkan ketika alih fungsi terjadi. Apalagi dampak deforestasi sangat besar, di antaranya hilangnya hutan dan keanekaragaman hayati, pelepasan emisi, kerusakan tanah dan erosi, serta gangguan sistem hidrologi.

Selain itu, salah satu sebab berkurangnya kemampuan hutan dalam menjalankan fungsinya, termasuk menyerap air adalah alih fungsi lahan hutan menjadi area industri, seperti perkebunan sawit dan tambang, industri kayu, pembangunan infrastruktur, dan eksploitasi berlebih.

Hingga saat ini, solusi yang ada belum mampu mengatasi kerusakan alam. Hal ini disebabkan kegagalan mendiagnosis dan mengobati akar krisis lingkungan. Akar masalah dari semua itu adalah penerapan sistem kapitalisme yang materialistik. Sistem kapitalisme hanya peduli pada manfaat dan keuntungan ekonomi, meski harus mengorbankan lingkungan. Eksploitasi sumber daya alam terus berjalan tanpa kendali. Kebebasan kepemilikan di sistem kapitalisme membenarkan hal itu terjadi.

Di sisi lain, negara tidak menjalankan perannya sebagai raa’in, yakni mengurus dan melayani kepentingan rakyat, termasuk melindungi mereka dari bencana. Peran tersebut terdistraksi hanya untuk melayani kepentingan para kapitalis dan negara tidak benar-benar serius menjalankan mandatnya sebagai raa’in.

Panduan Islam

Allah sangat jelas memberi panduan dalam menjaga lingkungan. Larangan merusak lingkungan termaktub dalam surah Al-Baqarah ayat 205, “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.”

Penanganan bencana yang disebabkan faktor alam atau ulah tangan manusia harus dilakukan secara fundamental, yaitu dengan tindakan preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Pada aspek preventif, Islam akan menetapkan kebijakan pembangunan yang ramah lingkungan, pemanfaatan SDA untuk kemaslahatan umat manusia, serta politik ekonomi berbasis syariat Islam. Salah satu kebijakan politik ekonomi Islam ialah mengklasifikasi kepemilikan harta yang terbagi menjadi tiga, yaitu harta milik individu, umum, dan negara.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam buku Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam halaman 501 menjelaskan harta milik umum dibagi tiga, yakni fasilitas umum, barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya, dan SDA yang tabiat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan. Dari Ibnu Abbas, Nabi ﷺ bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud)

Islam mengajarkan mencintai alam dan lingkungan. Abu Bakar ra. berpesan ketika mengirim pasukan ke Syam, “… dan janganlah kalian menenggelamkan pohon kurma atau membakarnya. Janganlah kalian memotong binatang ternak atau menebang pohon yang berbuah. Janganlah kalian meruntuhkan tempat ibadah. Janganlah kalian membunuh anak-anak, orang tua, dan wanita.” (HR Baihaqi).

Hadis ini mengindikasikan bahwa dalam kondisi perang saja kita dilarang merusak tanaman, apalagi dalam keadaan damai. Ini menunjukkan Islam sangat memperhatikan alam dan lingkungannya.

Negara Khilafah memprioritaskan pembangunan infrastruktur dalam mencegah bencana seperti bendungan, kanal, pemecah ombak, tanggul, reboisasi (penanaman hutan kembali), pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, relokasi, tata kota yang berbasis pada amdal, serta pemeliharaan kebersihan lingkungan.

Khilafah akan menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai hima (perlindungan), cagar alam, hutan lindung, dan kawasan penyangga yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin; menyosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan dan memelihara lingkungan dari kerusakan; mendorong kaum muslim menghidupkan tanah mati (ihyaa’ al-mawaat) sehingga bisa menjadi penyanggalingkungan yang kokoh, sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu miliknya dan orang yang memagari tidak memiliki hak setelah tiga tahun.” (HR Abu Yusuf)

Nabi ﷺ pernah menetapkan sejumlah wilayah di sekitar Madinah sebagai hima. Salah satunya adalah hima an-Naqi yaitu tempat yang airnya melimpah sehingga di sana tumbuh banyak pohon kurma yang lebat buahnya yang terletak 20 farsakh dari Madinah. Rasulullah melarang orang-orang untuk menghidupkan tanah di tempat itu karena banyak rumput yang bisa digunakan untuk menggembalakan hewan ternak tertentu. Rasulullah melakukan proteksi atas tempat tersebut untuk pemeliharaan kuda-kuda perang kaum muslim (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 521).

Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menetapkan kawasan lain di Madinah sebagai hima ar-Rabadhah. Kawasan ini lebih mirip tanaman industri karena yang ditanam adalah palem dan beberapa pohon yang dikonsumsi. Mereka yang berhak memanfaatkan hima adalah orang-orang yang membutuhkan.

Negara Khilafah juga akan memberlakukan sistem sanksi yang tegas bagi siapa pun yang mencemari dan berupaya merusak lingkungan.

Dalam aspek kuratif, jika terjadi bencana, Khilafah akan melakukan langkah berikut: (1) melakukan evakuasi korban secepatnya; (2) membuka akses jalan dan komunikasi dengan para korban; (3) memblokade atau mengalihkan material bencana (seperti banjir, lahar, dan lain-lain) ke tempat-tempat yang tidak dihuni oleh manusia; (4) mempersiapkan lokasi pengungsian, dapur umum, dan posko kesehatan.

Adapun dari aspek rehabilitatif, Negara Khilafah akan melakukan recovery, yaitu manajemen pascabencana, seperti memberikan pelayanan terbaik kepada para korban selama berada di pengungsian; memulihkan psikis mereka agar senantiasa bersabar, tidak stres, atau depresi atas cobaan yang menghampiri; memenuhi kebutuhan vital mereka yaitu makanan, pakaian, obat-obatan, tempat istirahat yang layak, dan layanan kesehatan lainnya; serta memberi nasihat dan tausiah untuk menguatkan akidah dan nafsiah (jiwa) para korban.

Semua ini dilakukan oleh negara karena Islam menjadikan penguasa sebagai pengurus dan pelayan untuk kemaslahatan rakyat, termasuk dalam menghadapi bencana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak