PHK Sritex, Bukti Keserakahan Kapitalis
Oleh : Ummu Hayyan, S.P.
Setelah dinyatakan pailit oleh pengadilan, Perusahaan tekstil Sritex di Sukoharjo Jawa Tengah resmi berhenti beroperasi mulai Sabtu 1 Maret 2025. Sepuluh ribu lebih karyawannya pun diberhentikan. PT Sritex yang merupakan perusahaan tekstil terbesar se-asia tenggara yang dianggap paling rentan terhadap PHK, namun nyatanya perusahaan ini harus melakukan PHK massal. Berdiri sejak 1966 PT Sritex terpaksa menyerah 58 tahun kemudian. Perusahaan ini dianggap tidak memenuhi kewajiban pembayaran utang sejumlah debitur yang sudah disepakati.
Ada dua faktor utama penurunan pendapatan Sritex yakni karena persaingan tekstil secara internasional dan imbas dari pasca covid-19. Ditambah lagi peraturan pemerintah yang berubah-ubah hingga membuat pengusaha kalang kabut dalam menjalankan usahanya. Banyak pihak yang menduga kuat bahwa lahirnya Permendag nomor 8 tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang mulai berlaku pada tanggal 17 Mei 2024 adalah Biang kerok dari runtuhnya PT Sritex. Isinya mencakup kemudahan impor pada 11 komoditas termasuk pakaian jadi dan aksesoris pakaian. Inilah yang menambah beban persaingan industri tekstil di dalam negeri. Hanya saja, jika dicermati secara mendalam, industri tekstil sejatinya sudah mengalami tekanan sejak lama. Pasalnya, pada tahun 2020 sudah ada 36 perusahaan tekstil gulung tikar yang mengakibatkan PHK pada 14.000 pekerja. Tidak bisa dipungkiri bahwa, masuknya produk tekstil secara masif di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari kerjasama perdagangan Indonesia dan China yang dinamakan ASEAN - China Free Trade Area (ACFTA). Perjanjian ini memungkinkan akses pasar yang lebih besar antara negara-negara ASEAN dan China. Kebijakan ini menurunkan impor untuk barang-barang yang diperdagangkan antara kedua negara. Kebijakan ini tentu menguntungkan Cina yang memiliki kualitas dan daya saing yang tinggi dari produk tekstilnya. Semua ini terjadi karena ekonomi kapitalisme global yang diterapkan di dunia menjadikan semua negara harus mengikuti kebijakan pasar bebas. Sebagaimana perjanjian ACFTA. Alhasil, industri padat karya dalam negeri kalah bersaing dan berimbas gulung tikar. PHK besar-besaran pun tak terhindarkan. Negara sendiri hanya merespon PHK ini dengan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang sarat dengan solusi tambal sulam.
inilah akibat penerapan sistem kapitalisme dengan prinsip liberalisasi ekonomi. Negara berwatak populis otoriter yang menjalankan peran hanya sebagai regulator. Bukan untuk memenuhi kepentingan rakyat tetapi untuk memenuhi kepentingan oligarki. Liberalisasi ekonomi juga menyebabkan lapangan pekerjaan dikontrol oleh industri bukan menjadi tanggung jawab negara.
Berbeda dengan penerapan sistem ekonomi Islam di bawah sistem politik Islam yakni Khilafah. Sistem Islam menjamin suasana yang kondusif bagi para pengusaha dan perusahaan dalam menjalankan industrinya sehingga rentan terhadap gulung tikar. Pengaturannya secara detail tercantum dalam sistem ekonomi Islam. Membangun industri merupakan cabang dari membangun ekonomi secara keseluruhan. Asas ekonomi Islam bukanlah untuk produksi barang dan jasa secara besar-besaran sebagaimana dalam Kapitalisme. Asasnya adalah distribusi kekayaan, yakni memastikan setiap individu masyarakat bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Islam membolehkan individu masyarakat mengembangkan harta seperti membangun industri dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan syariat. Ketentuan-ketentuan inilah yang wajib digunakan negara dalam mengeluarkan kebijakan terkait industri. Ketentuan-ketentuan tersebut sejalan dengan politik ekonomi Islam yakni jaminan terpenuhinya kebutuhan asasi atau primer seluruh warga negara. Mulai dari kebutuhan primer individu seperti pangan, pakaian, perumahan termasuk kebutuhan primer sosial seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. Serta kebutuhan sekunder dan tersier masyarakat. Inilah yang wajib diwujudkan Negara Islam yakni Khilafah. Negara wajib mengatur dan mengontrol industri tersebut dengan pengaturan dan kontrol yang bersifat umum, yang bisa membantu peningkatan kapasitas dan kualitas produksi, membuka pasar-pasar bagi hasil-hasil industri, menjamin ketersediaan bahan baku dan lain sebagainya. Sebab, negara adalah raa'in atau pengurus rakyat yang memiliki tanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Penerapan aturan Islam terkait industri yang boleh dimiliki individu dalam negara Islam ini rentan terhadap kebangkrutan sebab negara Khilafah adalah negara mandiri yang tidak boleh berada dalam cengkraman atau dominasi negara-negara kafir. Selain itu, negara Khilafah mengharuskan adanya industri militer. Jika industri militer menjadi pijakan, maka teknologi tercanggih akan dikembangkan. Sebab industri militer adalah yang mampu menghasilkan mesin-mesin bagi industri lain seperti industri tekstil, makanan, otomotif dan lain sebagainya. Alhasil, akan terbentuk industri-industri yang kuat dan berkembang dalam negeri. Dengan begitu, negara mampu menciptakan lapangan kerja yang luas dan memadai bagi rakyatnya. Industri-industri tersebut juga mampu memproduksi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam jumlah yang melimpah sehingga harga barang menjadi murah dan terjangkau.
Adapun terkait perdagangan luar negeri, maka negara Khilafah sangat selektif melakukan kerjasama dengan negara lain. Hal ini diatur dalam politik luar negeri Islam, dimana negara memastikan kerjasama yang berlangsung tidak akan memperlemah negara Khilafah. Demikianlah pengaturan industri dalam Islam yang mampu mewujudkan kesejahteraan di tengah masyarakat. Seluruh mekanisme ini tentu akan dijalankan oleh penguasa yang menjalankan sistem kepemimpinan islam dan memiliki profil Islam.
Wallaahu a'lam bish shawwab.
Komentar
Posting Komentar