Protokoler Beragam, untuk Apa?

 


Oleh. Neli Cahaya

(Aktivis Dakwah)

 

Dilansir dari CNN Indonesia (5/3/2025), Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto mengingatkan kepala daerah mengurangi protokoler demi mendukung kebijakan efisiensi anggaran. Hal itu disampaikan Setyo dalam peluncuran Indikator Monitoring Center for Prevention (MCP) di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta, Rabu (4/5). Sejumlah kepala daerah mengikuti agenda tersebut lewat daring atau Zoom.

 

Sikap Boros Penguasa yang Merugikan Rakyat

 

Protokoler sepertinya memang telah menjadi tradisi para pejabat di negeri ini. Seolah-olah nadalah raja yang harus dilayani padahal merekalah yang seharusnya melayani rakyat. Kendaraan perjalanan dinas yang mewah, pendamping dan pengawas yang sebetulnya tidak diperlukan dalam perjalanan dinas. Sikap para pejabat yang manja yang menghambur-hamburkan dana untuk kepentingan yang tidak berarti inilah yang kerap menjadi penyebab pemborosan negara.

 

Tidak hanya dalam hal penggunaan protokoler yang menimbulkan pemborosan. Tunjangan para pejabat yang fantastik, belum lagi dana untuk menggaji para stafsus dan utusan kepresidenan  yang sebenarnya keberadaan mereka tidak diperlukan. Seremonial yang dilakukan para pejabat yang terkesan foya-foya, juga berdampak pada pemborosan.

 

Ibarat pepatah, besar pasak daripada tiang. Itulah yang menggambarkan kondisi pengelolaan negara Indonesia yang sejak Orde Baru hingga saat ini, pascareformasi, pemborosan anggaran negara masih belum terpecahkan. Selit belit.

 

Pemborosan anggaran negara ini mengakibatkan kebocoran anggaran. Seperti air mengalir sampai jauh tak karuan. Seiring dengan itu, para koruptor pun berpesta pora.

 

Dari satu rezim ke rezim lainnya selalu mengeluarkan narasi penghematan anggaran, namun hal itu tak kunjung membuahkan hasil. Jurus yang sama dikeluarkan juga oleh Presiden Prabowo Subianto. Di mana, beliau mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 Efisiensi Belanja Negara dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.

 

Alih-alih akan menyejahterakan rakyat, justru rakyatlah yang menjadi korban dari kebijakan efisiensi ini. Banyaknya honorer yang di rumahkan, para karyawan yang di PHK, pemotongan pada anggaran pendidikan dan kesehatan yang pada akhirnya rakyat yang merasakan kesengsaraannya.

 

Ditambah dengan kabinet gemoi yang di buat oleh Presiden Prabowo yang mencapai 136 orang. Ini merupakan kabinet tergemuk sepanjang sejarah Indonesia. Dengan jumlah pejabat sebanyak itu, bisa dipastikan membutuhkan anggaran, sumber daya manusia, dan kantor. Center of Economi and Law Studies (Celios) memprediksi kabinet gemoi Presiden Prabowo akan memboroskan anggaran hingga Rp1,95 triliun.

 

Penghematan anggaran harusnya menjadi momentum perubahan tata kelola anggaran menuju lebih baik. Sayangnya ini hanyalah kebijakan yang hanya akan menguntungkan para kapitalis dan tidak pro terhadap rakyat.

 

Cara Kerja Pejabat Dalam Sistem Islam

 

"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya". Inilah hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Ini merupakan bentuk pengingat dari Nabi kepada umatnya bahwa setiap pemimpin akan ditanyai tentang kepemimpinannya maka jadilah pemimpin yang baik yang sesuai dengan syariat.

 

Menjadi pemimpin tidaklah mudah. Pertanggungjawabannya tidak hanya di Dunia, akan tetapi sampai ke Akhirat. Maka dari itu Rasulullah mengingatkan kepada manusia agar tidak meminta dijadikan pemimpin.

 

Menjadi pemimpin merupakan amanah yang besar yang bisa jadi anugerah dan bisa jadi ladang pahala, jika kepemimpinannya dijalankan dengan sungguh-sungguh. Begitu pun sebaliknya akan menjadi musibah dan mendulang doa jika ditunaikan dengan asal-asalan.

 

Penguasa itu sebagai ulil amri menjadi perwakilan dalam melaksanakan syariat Allah Swt. bukan sebagai perpanjangan tangan donator politik yang kerjaannya merekayasa aturan legislasi dan kebijakan. Dan umat akan menjadi representasi dari baik buruknya kepemimpinan seseorang.

 

Perumpamaan antara Islam, kekuasaan dan rakyat adalah laksana tanda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam. Tiangnya adalah kekuasaan. Dan tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya. Ibnu Qutaibah mengutip perkataan Kaab al-Akhbar rahimahumallah.

 

Menegakkan kedisiplinan, keadilan, dan bersikap tegas adalah salah satu amanah yang harus ada di pundak seorang pemimpin. Agar dalam menjalankan amanahnya, tidak sampai menyusahkan rakyatnya. Sifat takwa juga harus menghiasi jiwa seorang pemimpin. Baik ketika ia sebagai dirinya sendiri, maupun ketika menjadi pemimpin rakyatnya.

 

Dalam Islam, seorang pemimpin diperintahkan agar tidak mengabaikan hak-hak rakyatnya. Tidak menipu rakyatnya, serta tidak membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyatnya dengan iming-iming seperti memberikan berbagai bantuan. Ini bukan kebijakan yang menyejahterakan melainkan tipuan yang menzalimi.

 

Kepemimpinan Islam tidak hanya berhenti pada diri Rasulullah saw. Para khalifah setelah beliau pun masih melanjutkan kepemimpinan beliau. Seperti sikap kehati-hatian khalifah Umar bin Khattab yang melarang istrinya menimbang minyak misik yang akan dibagikan kepada kaum muslim, karena khawatir minyaknya akan menempel di baju istrinya yang berarti ia memperoleh lebih dari haknya. Meskipun hal tersebut diperbolehkan.

 

Juga khalifah Umar yang menjunjung sendiri gandum yang akan diberikan kepada ibu anaknya yang kelaparan, saat terjadi bencana kekeringan dan kelaparan parah pada tahun ke-18 setelah hijrah. Semua karena rasa tanggung jawab beliau kepada rakyatnya. Seperti inilah sikap yang seharusnya ada pada seorang pemimpin. Yang melayani rakyatnya dengan penuh tanggung jawab, yang tidak mengambil hak rakyatnya untuk kepentingan pribadi. Dan pemimpin seperti ini hanya akan kita dapatkan dalam penerapan syariat Islam.

Wallahu a'lam bissawwab.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak