Pencabulan Sesama Jenis, Problem Sistemis, Butuh Solusi Sistemis

 



Oleh : Ummu Hayyan, S.P. (Pemerhati Generasi dan Pegiat Literasi)

Masyarakat Kabupaten Ciamis digegerkan oleh kasus dugaan pencabulan sesama jenis yang melibatkan seorang mahasiswa berinisial F (22), warga Dusun Margarasa, Kelurahan Sindangrasa, Kecamatan Ciamis.

Pelaku yang berprofesi sebagai sopir freelance dan tercatat sebagai mahasiswa di salah satu universitas ternama di Ciamis itu diamankan pihak kepolisian ke Polres Ciamis setelah diduga melakukan tindakan asusila terhadap puluhan korban. 

Menurut keterangan warga setempat berinisial E (45), penangkapan F ramai diperbincangkan masyarakat karena modus kejahatan yang diduga melibatkan korban hingga 20 anak, termasuk pelajar, anak pejabat, anak pengusaha, bahkan anak seorang ustaz. Pelaku disebut menyukai sesama jenis, ungkap E, Kamis (8/5/2025).

Ia juga mendorong penyidikan tuntas untuk mengungkap kemungkinan keterlibatan pelaku lain.

Sumber kepolisian menyebutkan, F diduga menggunakan pekerjaannya sebagai sopir freelance untuk mendekati korban. JabarEkspres.com.

Maraknya predator anak membuktikan bahwa negeri ini gagal memberikan perlindungan serta ruang hidup yang aman dan nyaman bagi anak. Padahal anak yang masih dalam proses tumbuh kembang, seharusnya mendapatkan penjagaan dan perlindungan baik dari keluarga, masyarakat hingga negara. 

Ada banyak faktor yang menyebabkan predator anak masih berkeliaran di negeri ini. Mulai dari lemahnya keimanan individu masyarakat, buruknya standar interaksi yang terjalin di antara masyarakat, hingga peran negara yang minim dalam melindungi warga negaranya. 

Harus diakui, bahwa tidak ada satupun pihak yang memberi dukungan terhadap pembentukan kepribadian Islam atau kepribadian mulia individu masyarakat hari ini. Keluarga hari ini telah menjadi keluarga yang pragmatis, yang fokus memenuhi kebutuhan keluarga di tengah sulitnya perekonomian. Ibu yang seharusnya menjadi pendidik generasi ikut menyibukkan diri mencari nafkah, hingga melalaikan peran strategisnya tersebut. Demikian pula lingkungan masyarakat telah terpengaruh oleh cara pandang hidup sekuler liberal. Peran agama diabaikan dalam kehidupan, sehingga standar kebahagiaan berputar pada materi dan kesenangan jasadiyah. Perilaku maksiat yang melanggar aturan Allah pun di normalkan sedikit demi sedikit, tidak ada budaya saling menasehati, hingga muncul individu-individu masyarakat yang biasa bermaksiat yang pada umumnya diawali dengan maksiat-maksiat kecil yang dibiarkan. Sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan, tidak hanya menjadi cara pandang hidup keluarga dan masyarakat. Cara pandang ini juga telah diadopsi oleh negara. Alhasil, aturan bernegara lahir dari akal manusia yang sarat dengan kekacauan dan konflik. Negara memang menunjukkan keprihatinan terhadap maraknya kasus predator anak, namun solusi yang ditawarkan bahkan yang sudah berjalan tidak mampu menyelesaikan persoalan ini. Sebab, pada dasarnya solusi-solusi tersebut tetap didasari oleh sekulerisme. Padahal, yang mampu memahami hakikat persoalan manusia dan memberikan solusi yang solutif dan sohih hanyalah pencipta manusia, Allah SWT. Karena itu, aturan Allah lah yang seharusnya dijadikan sandaran dalam menyelesaikan problem manusia. Undang-undang TPKS yang digadang-gadang mampu menyelesaikan kasus kekerasan terhadap anak, nyatanya hingga hari ini belum menunjukkan hasil, bahkan tampak undang-undang ini tidak mampu memberi efek jera terhadap pelaku. Undang-undang ini juga hanya melindungi korban, namun gagal mencegah munculnya pelaku-pelaku predator baru. Bukan tanpa alasan, negara yang berasaskan sekularisme menerapkan sistem pendidikan yang membentuk generasi liberal dan materialistik. Atas nama kebebasan, negara juga membiarkan media menayangkan hal-hal yang tidak pantas dan bisa memicu siapa saja memuaskan naluri melestarikan keturunannya atau naluri seksual dengan cara apapun. 

Butuh Solusi Sistemis

Persoalan pencabulan terhadap anak harus dipandang sebagai persoalan sistemik, yang membutuhkan solusi sistemik. Yakni hadirnya negara yang memiliki paradigma shohih dalam menyolusi persoalan umat manusia. Negara tersebut adalah negara Khilafah. Penerapan sistem pendidikan Islam tersistem dengan memadukan tiga peran pokok. Pembentukan kepribadian mulia individu masyarakat melalui peran keluarga, masyarakat, dan negara. 

Pada pilar keluarga, orang tua berperan penting mendidik anak dengan panduan Islam. Materi tentang jalan menuju iman dan Syariah Islam kaffah harus dipahami oleh anak, hingga anak paham hakikat kehidupan dan tujuan hidupnya di dunia. Dengan begitu, mereka akan memahami bahwa satu-satunya aturan yang layak dijadikan rujukan dalam beramal adalah aturan Islam semata. Hal ini didukung oleh sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang diterapkan dalam Khilafah. 

Sistem pendidikan Islam akan membentuk kepribadian Islam dalam diri rakyat. Penerapan aturan Islam kaffah dalam kehidupan akan membentuk masyarakat Islam yakni masyarakat yang memelihara budaya Amar ma'ruf dan nahi mungkar. Alhasil, kemaksiatan sekecil apapun yang nampak di kehidupan umum akan mendapat perhatian masyarakat untuk dinasehati atau dilaporkan pada pihak yang berwenang.

Media dalam Islam juga tidak boleh menayangkan hal-hal yang berbau pornografi dan yang melanggar syariat lainnya.

Syariat Islam telah menentukan batasan baik buruk dan halal haram dalam berperilaku. inilah yang akan menjadi pegangan masyarakat dalam melakukan Amar ma'ruf nahi mungkar Selain itu, negara dalam sistem Islam kaffah menerapkan aturan tegas dan sistem sanksi yang bisa memberikan efek jera bagi pelaku kriminal, termasuk pedofil. 

Dengan aturan Islam yang komprehensif yang diterapkan di bawah institusi Khilafah, maka negara akan mampu melindungi anak dan memberikan keamanan bagi mereka, karena masyarakat bersih dari tindak kriminal.

Wallaahu a'lam bish-shawwab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak