Standar Kemiskinan : Beda Data, Beda Derita
Oleh : Ummu Hayyan, S.P. (Pegiat Literasi)
Bank dunia dalam laporan Macro Proverty Outlook edisi April 2025 menetapkan bahwa penduduk Indonesia yang memiliki pengeluaran kurang dari USD 6,85 atau sekitar Rp. 113.777 per hari dengan kurs 16.600 tergolong sebagai kelompok miskin di negara berpendapatan menengah atas. Berdasarkan standar ini sekitar 60% penduduk di Indonesia setara 171,9 juta jiwa masih tergolong miskin. Jika memakai ambang batas negara berpendapatan menengah bawah, yaitu USD 3,65 atau sekitar Rp. 60.600 per hari, maka jumlah warga miskin Indonesia sekitar 44,3 juta jiwa. www.merdeka.com.Angka ini jauh di bawah proyeksi Bank dunia karena perbedaan standar pengukuran. Artinya, seseorang bisa dikategorikan tidak miskin secara nasional tetapi tetap masuk dalam kategori miskin ekstrim secara global.
Perbedaan standar kemiskinan antara dunia internasional dan Indonesia mengundang pertanyaan kritis tentang sejauh mana data yang ada refleksikan realitas di lapangan. Banyak warga yang tidak tergolong miskin menurut data resmi, tetapi tetap bergantung pada bantuan sosial, bekerja secara informal tanpa jaminan, dan mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Perbedaan standar kemiskinan ini sejatinya bukan hanya soal teknis penghitungan statistik, tetapi mencerminkan persoalan struktural yang lebih dalam, yakni dampak dari penerapan sistem kapitalisme dalam tata kelola ekonomi dan sosial.
Dalam kerangka kapitalisme, kemiskinan kerap dipandang sebagai angka yang harus dikendalikan demi menjaga stabilitas pasar, bukan sebagai kegagalan struktural yang perlu diselesaikan secara radikal. Negara sebagai pelaksana kapitalisme sering terjebak dalam logika pertumbuhan ekonomi makro dan investasi sembari mengabaikan distribusi kekayaan dan kesenjangan sosial yang terus melebar. Sistem kapitalisme cenderung menghasilkan ketimpangan karena menitikberatkan pada akumulasi modal oleh segelintir elit, maka tak heran jika standar kemiskinan disusun sedemikian rupa agar tampak menurun, meski kualitas hidup masyarakat tidak banyak berubah. Dengan standar yang rendah, negara bisa mengklaim sukses mengurangi kemiskinan, padahal itu hanya manipulasi angka untuk menarik investasi, mendapatkan pinjaman luar negeri atau menjaga citra di hadapan pasar global. Lebih jauh, kapitalisme mendorong komersialisasi sektor-sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Akibatnya, rakyat miskin menghadapi beban hidup yang semakin berat. Bahkan, meski pendapatan mereka sedikit meningkat karena akses terhadap kebutuhan dasar tetap tidak terjangkau. Inilah bentuk lain dari kemiskinan struktural yang tidak bisa ditangkap oleh pengukuran berbasis pendapatan saja. Inilah realita pahit kehidupan rakyat yang diatur oleh sistem kapitalisme. Negara kapitalis tidak memposisikan dirinya sebagai penanggung jawab langsung kebutuhan rakyat, melainkan sebagai fasilitator pasar dan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, distribusi kekayaan menjadi sangat timpang.
Kapitalisme adalah sistem batil karena berasal dari akal manusia. Maka, wajar penerapannya hanya menyengsarakan kehidupan manusia.
Berbeda dengan sistem Islam yang diterapkan secara kaffah melalui institusi khilafah, menawarkan solusi sistemik dan menyeluruh. Islam memandang bahwa pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu adalah tanggung jawab negara, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar atau korporasi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
"imam atau khalifah adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya."(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hal ini, negara bertugas memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan makanan, sandang, dan papan secara layak. Jika individu tidak mampu memenuhinya melalui usahanya sendiri, maka tanggung jawab beralih kepada keluarga dekat, masyarakat, dan terakhir negara. Negara tidak boleh membiarkan satupun orang kelaparan atau hidup di bawah garis kemanusiaan. Khilafah juga memiliki sistem distribusi kekayaan yang adil, bukan sekedar pemerataan kesempatan. Dalam sistem ini, kekayaan alam seperti tambang, hutan, air, dan energi adalah milik umum yang tidak boleh diprivatisasi. Rasulullah SAW bersabda :
"Kaum muslim berserikat dalam 3 perkara yakni : air, padang rumput, dan api atau energi." (HR. Abu Dawud).
Artinya, Negara tidak boleh menyerahkan sumber-sumber vital ini kepada swasta atau asing, melainkan harus mengelola dan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan umat. Hal ini menjamin keberlangsungan pembiayaan pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan subsidi kebutuhan dasar lainnya.
Zakat sebagai instrumen fiskal Islam juga menjadi pilar penting dalam menanggulangi kemiskinan. Allah SWT berfirman, yang artinya :
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka." (TQS. At-Taubah : 103).
Dalam khilafah, zakat didistribusikan langsung kepada 8 golongan asnaf, termasuk fakir dan miskin secara terstruktur dan berkala, bukan dalam bentuk bantuan sesaat. Bukan hanya zakat, khilafah juga memiliki pos pemasukan dari fai', kharaj, jizyah dan kepemilikan umum, yang semuanya dikelola untuk menjamin kemakmuran rakyat. Berbeda dari kapitalisme yang menjadikan rakyat sebagai objek kebijakan ekonomi, Khilafah memposisikan rakyat sebagai amanah yang wajib dijaga dan disejahterakan.
Sistem ini telah terbukti selama lebih dari 13 abad dalam sejarah peradaban Islam. Khalifah Umar bin Abdul Aziz misalnya, mampu menghapus kemiskinan hingga tidak ada lagi yang berhak menerima zakat karena semua kebutuhan masyarakat terpenuhi. Oleh karena itu, solusi terhadap persoalan kemiskinan hari ini bukan hanya soal mengganti standar angka, melainkan mengubah sistem ekonomi secara menyeluruh dari kapitalisme menuju sistem Islam di bawah naungan Khilafah.
Wallaahu a'lam bish-shawwab
Komentar
Posting Komentar