" 4 Pulau Milik Aceh dan Migasnya dialihkan ke Sumut: Dikorbankan atas Keserakahan Penguasa?"

 


Oleh: Roffi'ah Mardyyah Aulia Lubis

(Aktivis Dakwah)


“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)


Hadis diatas menjelaskan bahwa tiga hal tersebut: air, padang rumput, dan api, adalah kebutuhan mendasar umat manusia yang harus digunakan secara bersama-sama, dan tidak boleh dihisap atau dikuasai oleh individu tertentu. Hadis ini menekankan konsep kepemilikan umum atas sumber daya alam yang penting bagi kehidupan masyarakat. 


Kemendagri mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan empat pulau yang tadinya milik Provinsi Aceh menjadi milik Provinsi Sumut. Penetapan ini menuai polemik. Pemprov Aceh keberatan dengan keputusan itu. Adapun empat pulau tersebut yakni Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek dan Pulau Mangkir Gadang. Keempatnya terletak di perairan yang selama ini menjadi perbatasan antara Kabupaten Aceh Singkil (Aceh) dan Kabupaten Tapanuli Tengah (Sumut).


Anggota DPD RI asal Aceh Azhari Cage 

menjelaskan, Aceh memiliki bukti kuat dan sah atas kepemilikan keempat pulau itu, mulai dari dokumen agraria hingga kesepakatan antar- pemerintah provinsi pada masa lalu. Salah satu bukti tertulis yang ia sebut adalah surat tanah tertanggal 17 Juni 1965 atas nama Teuku Daud bin T. Radja, dikeluarkan oleh Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Aceh ketika wilayah Singkil masih bagian dari Aceh Selatan. "Pulau itu bukan hanya soal wilayah, tapi soal marwah dan harga diri rakyat Aceh. Tidak boleh ada kompromi. Semua elemen harus bersatu mempertahankannya," tegasnya.


Inilah bentuk nyata kerusakan sistem kapitalisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengusaha lebih berkuasa. Sudah sangat jelas Islam menetapkan SDA adalah milik umum yang harus dikelola negara dan hasilnyan dikembalikan untuk rakyat. Islam juga menetapkan wajibnya menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan. Yang akan berpengaruh terhadap kehidupan manusia.


Islam juga memiliki konsep "hima", yang akan melindungi  lingkungan dari kerusakan akibat adanya eksplorasi. Pemimpin dalam Islam menjalankan aturan sesuai dengan hukum syariat, dan berperan sebagai raain (Pengurus) yang akan mengelola SDA dengan aman dan menjaga kelestarian lingkungan.


Sementara dalam Kapitalisme, tanah dan sumber daya alam adalah komoditas. Negara menjadi fasilitator kepentingan pemilik modal. Atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi, segala hal dapat dikorbankan: mulai dari hutan lindung, laut hingga hak masyarakat adat. Inilah yang kini terjadi juga di aceh. Wilayah yang semestinya dijaga karena status

konservasinya justru dilepas untuk dikeruk demi migasnya. Oligarki adalah anak kandung Kapitalisme. Merekalah

penguasa dan pengendali ekonomi. Bukan Pemerintah. Inilah dampak gabungan dari sistem Kapitalisme yang rakus. Kekuasaan oligarki menciptakan berbagai kerusakan lingkungan. Misalnya, eksploitasi berlebih terhadap lahan, laut dan keanekaragaman hayati. Dalam banyak kasus, segelintir elite ekonomi dan politik memanfaatkan kekuasaan mereka untuk menguras sumber daya alam demi keuntungan pribadi. 


Dalam pandangan Islam, manusia berfungsi sebagai khalifah di bumi (QS al-Baqarah [2]: 30). Karena itu Islam

memandang alam sebagai amanah dari Allah SWT yang harus mereka jaga. Alam boleh dimanfaatkan, tetapi tidak dikuasai oleh individu. Karena itu Islam akan memastikan pengelolaan sumber daya alam harus sesuai dengan tuntunan syariah yang tidak menimbulkan kerusakan dan kerugian. Dengan demikian hanya sistem Islamlah yang mampu mengelola sumber daya alam. Sumber daya milik umum ini akan dikelola oleh negara sesuai dengan tuntunan syariah Islam semata-mata untuk kesejahteraan rakyat tanpa merusak

ekologinya. Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), Khalifah adalah râ'in (pengurus rakyat). 


Karena itu Negara (Khilafah) bertanggung jawab penuh dalam hal pengelolaan milik umum demi kemaslahatan umat. Negara tidak boleh menjadi mitra bisnis korporasi. Hasil migas atau sumber daya alam lain wajib dikelola oleh Khilafah dan hasilnya disalurkan ke Baitul Mal untuk pelayanan publik, bukan untuk investor atau elit politik. Hal ini hanya bisa terwujud ketika menggunakan aturan islam.


wallahu a'lam bishawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak