Kekerasan Anak dalam Keluarga hanya dapat diakhir dengan Sistem Islam
Oleh : Mial, A.Md.T (Aktivis Muslimah)
#OpiniIslam
#PerlindunganAnak
Keluarga yang seharusnya menyayangi, malah menorehkan luka. Kondisi ini sungguh mencerminkan betapa kerusakan kehidupan sudah mencapai dasarnya, menggerogoti benteng terakhir masyarakat, yakni keluarga, dan mulai merobohkannya.
Tindak kekerasan, baik fisik maupun seksual, masih terus menimpa sebagian anak-anak di Indonesia. Beberapa hari lalu, Jakarta digemparkan penemuan seorang anak perempuan yang ditelantarkan ayahnya sendiri di salah satu kios pasar Kebayoran Lama. Kondisinya sangat memprihatinkan. Di tubuhnya ditemukan sejumlah luka, dari lebam di bagian mata hingga luka bekas senjata tajam sekitar 5—6 centimeter, bahkan ada bekas luka bakar di wajahnya. Ia mengaku disiksa ayah kandungnya sendiri. (Tempo, 12/-6-2025).
Di Simalungun, seorang ayah tega melakukan kekerasan seksual terhadap tiga putri kandungnya semenjak mereka masih kelas 5 SD. Di Sragen, seorang ayah tiri mencabuli putrinya yang masih berusia 14 tahun sampai hamil.
Sangat menyedihkan, ketika rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung anak justru tidak lagi memberi rasa aman. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menyampaikan keprihatinan atas tingginya angka kekerasan anak yang masih terjadi di masyarakat Indonesia. Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja 2024 menunjukkan satu di antara dua anak Indonesia pernah mengalami kekerasan.
Menurut Bu Menteri, jenis kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual, dan yang terasa ironis, lokasi terbanyak tindak kekerasan ini ada dalam ranah rumah tangga yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak. (Republika, 17-6-2025).
Memang aneh tapi nyata, bagaimana bisa rumah yang seharusnya melindungi, justru menjadi tempat yang berbahaya? Keluarga yang seharusnya menyayangi, malah menorehkan luka. Kondisi ini sungguh mencerminkan betapa kerusakan kehidupan sudah mencapai dasarnya, menggerogoti benteng terakhir masyarakat, yakni keluarga, dan mulai merobohkannya. Lantas, ke manakah anak-anak ini akan berharap perlindungan?
Kekerasan dapat berdampak serius pada anak, tidak hanya mengakibatkan luka fisik, tetapi juga luka psikis, serta gangguan perilaku yang dirasakan anak dalam jangka panjang hingga memengaruhi keseluruhan hidupnya. Anak yang terbiasa hidup dalam kekerasan, terlebih kekerasan yang dilakukan oleh orang tua atau keluarga, akan belajar bahwa kekerasan adalah penyelesaian masalah yang wajar. Akhirnya, mereka rentan mengalami kekerasan atau bahkan menjadi pelaku kekerasan pada kemudian hari. Tentu bukan manusia dengan kualitas semacam ini yang kita harapkan akan menjadi pemimpin umat dan para pelaku perubahan di tengah masyarakat.
Kekerasan anak dalam keluarga didefinisikan sebagai kekerasan yang dilakukan oleh orang di dalam keluarga yang mengakibatkan penderitaan terhadap anak, baik dalam bentuk fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Data pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) menunjukkan, jumlah kasus dan korban kekerasan anak (0—17 tahun) mengalami kenaikan beberapa tahun terakhir. Sejak 2020—2023, angka kekerasan terhadap anak terus naik, baik dari jumlah kasus maupun banyaknya korban. Pada 2020 tercatat 11.264 kasus dengan korban jumlah 12.410. Pada 2021, terdapat 14.446 kasus dan 15.914 korban, pada 2022 ada 16.106 kasus dan 17.641 korban, dan pada 2023 ada 18.175 kasus dan 20.221 korban. Hingga November 2024, angka sudah mencapai 14.308 kasus dengan 15.886 korban.
Angka kekerasan yang terdata ini hanyalah yang dilaporkan dan tercatat. Sedangkan yang tidak tercatat, boleh jadi lebih besar lagi karena persoalan kekerasan terhadap anak sering kali tersembunyi di dinding-dinding rumah yang tertutup. Anak juga acapkali tidak berani mengadukan tindak kekerasan orang tuanya, atau tidak tahu harus mengadukan ke siapa. Inilah yang menjadikan kekerasan dalam keluarga seperti gunung es yang hanya tampak di permukaannya saja.
Menteri PPPA menjelaskan bahwa berdasarkan hasil analisis kementeriannya, penyebab utama kekerasan terhadap anak berasal dari tiga faktor, yakni pola asuh yang tidak tepat, penggunaan gadget yang tidak bijaksana, dan pengaruh lingkungan. Ini menunjukkan bahwa keluarga berperan sangat penting dalam perlindungan anak.
Menurutnya, keluarga merupakan sekolah pertama dan utama bagi anak dalam menanamkan nilai-nilai akhlak, moral, cinta, dan kedamaian. Ia mengatakan keluarga di Indonesia harus menjadi tempat terbaik bagi anak untuk tumbuh, belajar, dan bermimpi. (Republika, 17-6-2025).
Namun ironisnya, rumah justru menjadi tempat terbanyak terjadinya kekerasan pada anak, baik fisik maupun seksual. Hal yang disampaikan Menteri PPPA tentang penyebab utama tindak kekerasan bisa jadi benar. Akan tetapi, ketiga faktor tadi masih bisa dirunut pada penyebab asalnya. Misalnya, mengapa bisa muncul pola asuh yang tidak tepat di rumah? Mengapa anak bisa salah menggunakan gadget? Mengapa pula lingkungan bisa berpengaruh?
Tiga penyebab tersebut pada dasarnya adalah dampak juga. Faktor kesalahan pola asuh, misalnya, berawal dari penerapan kapitalisme yang mendorong perempuan untuk eksis sebagai pencari nafkah keluarga di samping suami.
Lebih parahnya ketika ibu dan ayah sama-sama tidak banyak paham agama sehingga mengabaikan berbagai aturan agama yang akhirnya memunculkan tindak kekerasan terhadap anak. Anak tidak mendapat pengertian tentang batas auratnya, tempat tidurnya tidak dipisahkan, istri sering menolak ajakan intim suami, atau (dalam banyak kasus) istri bekerja di luar daerah atau luar negeri sehingga suami menjadikan anak sebagai pelampiasan kebutuhan biologisnya.
Kesalahan penggunaan gadget juga merupakan dampak, salah satunya akibat kesibukan orang tua sehingga mengalihkan pengasuhan pada gadget. Dampak dari paham kebebasan yang telah menghalalkan berbagai sarana pemuasan nafsu melalui media massa dan media sosial yang terakses mudah oleh semua orang melalui gadget. Pornografi dan pornoaksi merebak tidak terkendali, mendorong nafsu untuk melampiaskan tanpa pandang bulu, bahkan anak, adik, atau keponakan sendiri juga disikat.
Lingkungan yang rusak pun merupakan dampak dari penerapan kapitalisme-liberal dalam kehidupan. Masyarakat yang individualis, tidak peduli sekitar, pergaulan rusak, dan tersebar luasnya kejahatan di tengah masyarakat yang pada akhirnya berdampak ke rumah, terutama anak-anak sebagai korban.
Kapitalisme-liberalisme, paham kembar ajaran Barat ini ibarat arus yang sangat kuat menelan benteng-benteng keluarga. Sekuat apa pun kita membangunnya, dampak kerusakannya tetap terasa. Alhasil, keluarga perlu benteng yang lebih kuat dan lebih besar yang mampu menahan arus tersebut agar tidak menghanyutkan dan merobohkannya. Benteng besar itu adalah Khilafah, yaitu negara yang menerapkan Islam secara utuh dan menyeluruh.
Persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan oleh penerapan sistem kapitalisme-liberalisme yang rusak. Alhasil, solusinya juga harus dengan sistem. Dalam hal ini, Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki sistem untuk mencegah dan mengatasi masalah kekerasan terhadap anak.
Mekanisme Islam untuk Mencegah Terjadinya Kasus Kekerasan terhadap Anak di Dalam Keluarga
Dalam masalah ekonomi, Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan kerja yang luas agar para kepala keluarga dapat bekerja dan memberikan nafkah untuk keluarganya. Semua sumber daya alam strategis adalah milik umat yang dikelola negara.
Negara berkewajiban mendistribusikan seluruh hasil kekayaan negara untuk kesejahteraan warga negara, baik untuk mencukupi kebutuhan pokok, kesehatan, maupun pendidikan.
Negara memberikan santunan bagi keluarga-keluarga yang miskin yang tidak mampu mencukupi kebutuhannya, terutama keluarga yang tidak memiliki pencari nafkah. Dengan jaminan nafkah pada poin 1 dan 2 ini, ditambah jaminan pemenuhan kebutuhan pendidikan dan kesehatan, orang tua tidak memiliki beban berat yang membuat mereka stres dan depresi sehingga berpotensi melakukan tindak kekerasan.
Negara juga wajib menjaga suasana takwa terus hidup di tengah masyarakat. Negara membina warga negara sehingga mereka menjadi manusia yang bertakwa dan memahami hukum-hukum agama. Pembinaan dilakukan di sekolah, di masjid, maupun di lingkungan perumahan. Dalam hal ini, negara mencetak para ulama dan menjamin kehidupan mereka sehingga mereka bisa berkonsentrasi dalam dakwah.
Ketakwaan individu pun menjadi pilar pertama bagi pelaksanaan hukum-hukum Islam. Individu bertakwa tidak akan melakukan kekerasan fisik dan seksual terhadap anak-anak. Orang tua juga paham hukum-hukum fikih terkait anak sehingga bisa mengajarkan anak hukum Islam sedari kecil, seperti menutup aurat, mengenalkan rasa malu, memisahkan kamar tidur anak, dan sebagainya. Dakwah Islam akan mencetak masyarakat yang bertakwa yang bertindak sebagai kontrol sosial untuk mencegah individu melakukan pelanggaran.
Dalam hal peredaran informasi di tengah masyarakat, negara mengatur mekanismenya, baik melalui media massa cetak maupun elektronik. Media massa di dalam negeri bebas menyebarkan berita, tetapi terikat kewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak, serta wajib menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat. Jika ada yang melanggar ketentuan ini, negara akan menjatuhkan sanksi kepada penanggung jawab media.
Untuk media asing, konten akan dipantau agar tidak memasukkan pemikiran dan hadharah (peradaban) yang bertentangan dengan akidah dan nilai-nilai Islam. Begitu pun internet, dibatasi dan dipantau. Kalau perlu, negara memblokir aplikasi-aplikasi luar yang menyebarkan paham bertentangan dengan Islam. Dengan mekanisme ini, pornografi, budaya kekerasan, homoseksualisme, dan sejenisnya, dicegah untuk masuk ke dalam negeri.
Dalam aspek pergaulan, negara membuat aturan pergaulan antara laki-laki dan perempuan di masyarakat berdasarkan hukum-hukum syarak. Aturan ini bertujuan mengelola naluri seksual pada keduanya dan mengarahkannya untuk mencapai tujuan penciptaan naluri ini, yaitu melahirkan generasi penerus yang berkualitas. Sebaliknya, kemunculan naluri seksual dalam kehidupan umum akan dicegah.
Laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk menutup aurat, menahan pandangan, menjauhi ikhtilat (interaksi laki-laki dan perempuan) yang diharamkan, dan seterusnya. Dengan metode ini, aurat tidak dipertontonkan dan seks tidak diumbar sembarangan. Terbiasanya orang melihat aurat perempuan dan melakukan seks bebas akan membuat sebagian orang kehilangan hasrat seksnya dan mereka membutuhkan sesuatu yang lain untuk membangkitkannya. Muncullah kemudian penyimpangan seksual, seperti pedofilia dan inses. Inilah yang dihindarkan dengan penerapan aturan pergaulan sosial dalam Islam.
Mengenai sanksi, negara menjatuhkan hukuman tegas bagi para penganiaya dan pelaku kekerasan terhadap anak. Pemerkosa dicambuk 100 kali apabila belum menikah, dan dirajam jika sudah menikah. Penyodomi akan dibunuh, termasuk jika melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan akan dikenai denda 1/3 dari diat sempurna 100 ekor unta, selain hukuman zina, (Abdurrahman al-Maliki, 1990, halaman 214—238).
Melukai tubuh anak juga akan dikenakan diat. Diat gigi adalah 10 ekor unta. Diat sat mata, satu tangan, atau satu kaki adalah 50 ekor unta. Apabila anak sampai tewas, orang tua wajib membayar diat sempurna, yakni 100 ekor unta, pada ahli waris anak selain dirinya. Dengan hukuman seperti ini, orang-orang yang akan melakukan kekerasan terhadap anak akan berpikir beribu kali sebelum melakukan tindakan tersebut.
Selain itu, negara mencegah masuknya berbagai paham dan budaya yang bertentangan dengan Islam atau membahayakan kehidupan masyarakat, seperti liberalisme, sekularisme, homoseksualisme, dan sejenisnya dari saluran mana pun. Media massa, buku, bahkan orang asing yang masuk sebagai turis atau pedagang, dilarang membawa atau menyebarkan hal tersebut. Jika mereka melanggar, akan dikenakan sanksi berdasarkan hukum Islam.
Demikiankah, penerapan hukum secara utuh ini akan menyelesaikan masalah kekerasan terhadap anak secara tuntas. Anak-anak dapat tumbuh dengan aman, menjadi calon-calon pemimpin, pejuang, dan generasi terbaik. Hanya saja, yang mampu menjalankan fungsi dan tanggung jawab di atas tidak lain hanyalah negara yang menerapkan sistem Islam secara utuh, yaitu Khilafah Islamiah.
Wallahu'alam bishowab.
Komentar
Posting Komentar