Ada Apa di Balik Keterlibatan Amerika dalam Konflik Israel dan Iran?
Oleh : Haura (Pegiat Literasi)
Belum selesai konflik Israel-Palestina, kini muncul konflik baru antara Israel-Iran. Secara mendadak Israel menyerang Iran pada tanggal 13 Juni 2025 melalui serangan udara secara besar-besaran ke sejumlah lokasi strategis, termasuk fasilitas nuklir. Serangan tersebut merenggut empat komandan senior Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) dan enam ilmuwan nuklir terkemuka Iran juga ikut terbunuh.
Iran tidak tinggal diam. Iran membalas dengan meluncurkan serangan rudal dan drone ke wilayah Israel dan kawasan strategi militer Israel termasuk pangkalan udara dan gedung mosad. Perang Iran dan Israel semakin memanas. Kedua negara ini saling kirim rudal hingga menghancurkan bangunan-bangunan di kota Teheran, Iran dan Tel Aviv, Israel.
Kementerian Kesehatan Iran melaporkan jumlah kematian resmi mencapai lebih dari 400 penduduk. Tak hanya itu, ribuan orang lainnya menderita luka-luka lantaran rudal dan pesawat nir awak.
Konflik Iran-Israel makin memanas setelah Amerika Serikat memutuskan untuk ikut menyerang fasilitas nuklir Iran di Fordow, Natanz dan Isfahan, pada Sabtu, 21 Juni 2025. Meski akhirnya Iran-Israel yang dimediasi Presiden Amerika Donal Trump menetapkan gencatan senjata setelah 12 hari berperang.
Klaim Israel Menyerang Iran
Pemerintah Israel mengklaim bahwa serangan itu adalah preemptive strike -tindakan menyerang duluan- dari ancaman Iran dalam program pembuatan bom nuklir dan pengembangan senjata nuklir. Iran melanggar komitmen perjanjian Non proliferasi Senjata Nuklir (NPT) dan menganggap itu sebagai keadaan darurat.
Selain itu, Israel memandang Iran sebagai ancaman eksistensial karena dukungan nya terhadap pasukan proksi di kawasan tersebut serta persenjataan dan pembiayaannya terhadap kelompok-kelompok Palestina seperti Hamas, kelompok Hizbullah dan milisi syiah di Libanon ataupun kelompok houthi di Yaman.
Sementara menurut laporan Al Jazeera, yang dikutip Senin (16/6/2025), serangan Israel berkaitan dengan posisi politik negara tersebut di dunia internasional. Pada saat ini, semakin banyak negara yang mulai mendukung Palestina dan menyuarakan kampanye genosida di Gaza.
Kondisi ini membuat Netanyahu menyadari bahwa pemerintahannya kehabisan pilihan. Terlebih, komunitas internasional, serta sekutu regional, mulai mengkritik Israel secara vokal. (detik.news)
Dulu Bestie, Sekarang Musuh
Iran, salah satu negara yang mengakui Israel setelah didirikan pada tahun 1948. Era Dinasti Pahlevi, hubungan Iran dan Israel sangat mesra. Keduanya bersekutu hingga tahun 1979. Israel menganggap Iran sebagai sekutu melawan negara-negara Arab. Sementara Iran menyambut Israel yang didukung Amerika Serikat sebagai penyeimbang terhadap pengaruh negara-negara Arab di kawasan itu.
Israel sempat melatih para ahli pertanian Iran, memberikan pengetahuan teknis dan membantu membangun dan melatih angkatan bersenjata nya. Iran membayar Israel dengan minyak, karena perekonomian Israel yang sedang berkembang membutuhkan bahan bakar. Tidak hanya itu, Iran pernah menjadi rumah bagi komunitas Yahudi terbesar kedua di luar Israel.
Namun hubungan keduanya memburuk akibat revolusi Islam tahun 1979. Sejak revolusi tersebut, Iran memutuskan semua hubungan diplomatik dan komersial dengan Israel. Pemerintah Iran yang dipimpin Ayatullah Ruhollah Khomeini tidak mengakui legitimasi Israel sebagai sebuah negara.
Konflik Iran-Israel merupakan polemik geopolitik, melibatkan sejarah panjang permusuhan, perbedaan ideologi, kepentingan geopolitik, perebutan pengaruh di Timur Tengah dan keterlibatan aktor regional dan global memicu ketegangan berkepanjangan serta berkembang menjadi konflik regional yang komplek, terlebih dengan keterlibatan Amerika Serikat yang berpihak pada Israel.
Amerika Serikat Beking Israel
Sejak Presiden Amerika Serikat ke 33, Harry Truman mengakui kemerdekaan Israel pada tahun 1948, Amerika Serikat selalu bergandengan tangan dengan Israel, membuka ikatan politik yang kuat hingga sekarang.
Tidak sebatas dukungan politik, bantuan militer dan finansial juga sudah banyak diberikan Amerika Serikat untuk Israel. Setiap tahunnya Amerika Serikat mengalokasikan dana bantuan untuk Israel terlebih sejak 7 Oktober 2023. Amerika Serikat menghabiskan rekor USD17,9 miliar atau setara dengan Rp 281,9 triliun untuk bantuan militer Israel.
Israel telah menerima ratusan miliaran dolar dari Amerika Serikat sejak era pasca-Perang Dunia II. Council Foreign Relations mencatat Tel Aviv sebagai penerima kumulatif terbesar bantuan luar negeri Amerika Serikat dengan nilai sekitar USD310 miliar.
Kemudian, Israel juga memakainya di bawah program Foreign Military Financing (FMF) -Pendanaan Militer Asing-. Dana yang masuk FMF harus digunakan Israel untuk membeli peralatan dan layanan militer dari Amerika Serikat.
Dukungan tiada henti Amerika Serikat kepada Israel bukan tanpa alasan. Tak heran jika Amerika menginvestasikan dana yang besar untuk selalu menjaga agar potensi kekuatan baru bisa digugurkan sebelum muncul dan menjadi ancaman bagi Amerika. Setidaknya ada beberapa alasan mengapa Amerika Serikat rela menjadi beking Israel.
Pertama, hubungan Amerika Serikat dan Israel awalnya tidak begitu menonjol namun setelah perang tahun 1967 hubungan keduanya makin berkembang. Pasalnya Israel mampu mengalahkan koalisi negara-negara Arab dalam kurun waktu lima hari tanpa bantuan AS dengan jumlah korban yang relatif sedikit dan hanya sedikit bantuan dari kekuatan luar namun mampu menduduki sebagian besar wilayah baru, termasuk Gaza dan Tepi Barat.
Israel menjadi alat yang berguna untuk menahan pengaruh Uni Soviet di Timur Tengah. Israel mampu menepis kekhawatiran Amerika Serikat terhadap pengaruh Uni Soviet di Timur Tengah sehingga layak menjadikan dirinya sekutu Israel pada saat Amerika Serikat sedang sibuk dengan perang Vietnam dan tidak memiliki kesempatan untuk terlibat secara militer di Timur Tengah. Hingga sebagai balas budi, Amerika Serikat mempertahankan dominasi dan intervensi entitas yahudi.
Kedua, hubungan Amerika dengan Israel mempunyai nilai strategis sebagai kekuatan stabilisasi di Timur Tengah. Wilayah Timur Tengah menjadi ajang kompetisi geopolitik karena kekayaan sumber daya minyak. Ketergantungan Amerika Serikat terhadap pasokan minyak membutuhkan pengamanan, mencegah kerusuhan yang akan mengancam akses terhadap pasokan minyak. AS menilai Israel memiliki kekuatan stabilisasi untuk memenuhi nafsu kapitalisme nya menguasai Sumber Daya Alam regional Timur Tengah.
Adapun Iran memiliki cadangan minyak dan gas alam terbesar di dunia dan menduduki peringkat ketiga di dunia. Pada akhir 2021, Iran menyumbang 24 persen cadangan minyak di Timur Tengah dan 12 persen di dunia. Minyak menjadi pundi-pundi pendapatan Iran dengan total penerimaan menembus USD 53 miliar atau sekitar Rp 839,52 triliun pada periode April 2023-Maret 2024.
Selain minyak, Iran juga kaya akan mineral, batu bara, biji besi, tembaga, emas, uranium. Iran memiliki cadangan gas alam terbesar kedua di dunia setelah Rusia dan merupakan komoditas unggulan yang menjadi tulang punggung ekspornya.
Ketiga, Amerika Serikat yang berwatak kapitalisme menjadikan perang sebagai alat bisnis. Industri pertahanan Amerika Serikat yang sangat besar dan kuat, sangat bergantung pada penjualan senjata dan peralatan militer ke negara-negara lain khususnya wilayah Timur Tengah.
Lembaga kajian Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm menyebut bahwa 38% ekspor senjata Amerika Serikat ditujukan ke Timur Tengah. Adapun Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dan Israel adalah penerima terbesar ekspor tersebut.
Baru-baru ini, dalam lawatan diplomatik empat hari Donald Trump ke negara-negara Teluk, Amerika Serikat dan Arab Saudi telah menandatangani kesepakatan senjata senilai USD142 miliar atau Rp2.357 triliun yang disebut-sebut oleh Gedung Putih sebagai "perjanjian penjualan pertahanan terbesar dalam sejarah”. (Metrotvnews.com)
Keempat, selain dorongan minyak bumi dan keinginan untuk membendung ancaman Komunisme Uni Soviet -hingga akhirnya Uni Soviet runtuh-. Amerika Serikat juga berupaya mempertahankan pengaruh dan status negara adidaya nya dengan melemahkan negeri-negeri muslim yang berpotensi terhadap kebangkitan Islam.
Dengan paradigma Sekularisme Kapitalis, Amerika Serikat tampil mengusung demokrasi sebagai jalan ekspansi guna menguasai seluruh negeri-negeri Islam di dunia agar tunduk di bawah pengaruhnya melalui berbagai ide, kebijakan bahkan kekuatan militer.
Kebangkitan Islam, hal yang paling ditakutkan oleh Barat dan Amerika Serikat telah berkontribusi banyak mendukung penggulingan gerakan-gerakan Islam yang pernah mengambil alih kekuasaan di negeri-negeri kaum Muslim. Amerika Serikat sekan tidak rela jika negeri-negeri muslim bersatu, memiliki kekuatan yang mampu menghancurkan tujuan-tujuan ideologi dan politiknya.
Butuh Kesatuan Umat untuk melawan dominasi Amerika
Kekuatan global dan dominasi Amerika di dunia, khususnya di negeri-negeri muslim tentu harus dihadapi dengan kekuatan seimbang. Hal yang mustahil kekuatan global Amerika Serikat mampu dikalahkan oleh kekuatan Islam ketika negeri-negeri muslim tidak memiliki kesatuan umat dan terpecah belah. Kesatuan umat Islam tidak mungkin terwujud kecuali berada dalam kesatuan visi dan misi dibawah komando kepemimpinan global atau khilafah.
Urgensi untuk tegaknya Khilafah makin menguat di tengah hiruk pikuknya problem dunia. Karena Khilafah adalah perkara hidup dan matinya umat Islam bahkan manusia secara keseluruhan. Khilafah, pelaksana syariah dan pemersatu umat Islam. Khilafah adalah benteng kokoh Islam sekaligus perisai Islam (junnatul Islam). Dalam hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda yang artinya “Sungguh Imam (Khalifah) itu laksana perisai; orang-orang akan berperang di belakang dia dan menjadikan dia sebagai pelindung (mereka)”.
Menakar kekuatan khilafah
Negeri-negeri Islam jika bersatu, merupakan negara terluas wilayahnya, tersebar di berbagai benua dari ujung afrika hingga Asia Tenggara dengan jumlah penduduk lebih dari 2 milyar dari total populasi global. Islam menjadi agama terbesar kedua dengan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan agama lain di dunia.
Dari sisi militer, negeri-negeri Islam memiliki kekuatan militer terkuat kedua dan terbanyak pasukannya. Berdasarkan data, negara dengan mayoritas muslim menempati 20 besar dengan pasukan militer nya, seperti Turki, Pakistan, Indonesia, Iran, Mesir.
Selain itu, sumber daya alam negeri-negeri Islam memiliki sumber daya alam yang sangat besar, minyak bumi, gas alam, mineral, lahan pertanian, hutan, air, dan keanekaragaman hayati dengan potensi ekonomi yang cukup tinggi.
Aneka potensi yang dimiliki negeri-negeri muslim tersebut seharusnya mampu membentuk kekuatan global di bawah kepemimpinan khilafah untuk menghentikan dominasi sekularisme kapitalis yang terbukti merusak kedamaian dunia.
وَأَعِدُّوا۟ لَهُم مَّا ٱسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ ٱلْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ ٱللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)
Sistem politik khilafah akan menghentikan kekejian, kemungkaran dan permusuhan, mengembalikan umat Islam pada kejayaannya, dengan menerapkan syariah Islam dan mempersatukan umat Islam di seluruh dunia. Sebagaimana khilafah Utsmaniyah terdahulu mampu menjadi negara adidaya, pernah menjadi kekuatan besar dan disegani dunia.
Karenanya, umat islam harus mampu mengubah keadaan, dengan mengembalikan Islam sebagai sumber kekuatan. Cita-cita menegakkan kembali khilafah dan kebangkitan kaum muslim harus menjadi motivasi, semangat untuk semakin gigih berjuang dan berdakwah untuk kebangkitan Islam dan perdamaian dunia. Allahu a'lam bi Showab
Komentar
Posting Komentar