UKT Mahal, Pelajar Miskin Berprestasi Terganjal?


 Oleh : Dian Safitri


Biaya pendidikan kian hari semakin mahal. Imbas dari mahalnya biaya UKT ini, ada sekitar 50 orang calon mahasiswa baru (Camaba) Universitas Riau (Unri) yang lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) memutuskan mundur dari Universitas Riau tersebut. Alasannya karena mereka tidak sanggup untuk membayar uang kuliah tunggal (UKT).

Sejumlah kampus negeri telah menetapkan besaran UKT bagi mahasiswa baru yang angkanya fantastis. UIN Jakarta misalnya menaikkan UKT hingga mencapai 50%. Hal ini membuat mahasiswa ramai untuk protes (Kompas.com, 20/05/2024).

Sungguh, kenaikan UKT ini berakibat fatal pada pendidikan. Salah satunya masyarakat akan kesulitan mengakses pendidikan tinggi, bagi mereka yang lahir dari keluarga yang tidak mampu tidak akan mudah melanjutkan sekolah tinggi. Ini sangat berakibat pada rugi-nya negara yang tidak akan memiliki generasi terdidik di masa yang akan datang. Padahal generasilah yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa, sehingga bangsa ini tidak bisa menjadi jajahan bangsa lain.

Hari ini tidak bisa dipungkiri. Pendidikan itu justru dikapitalisasi. kenapa bisa? Karena tata kelolanya berada di bawah sistem yang kapitalistik yang hanya mengacu pada keuntungan materi saja sehingga pendidikan itu dikomersilkan. Komersialisasi pendidikan adalah suatu yang mutlak dalam sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan negara saat ini. Konsekuensinya negara lepas tangan dari membiayai pendidikan warga negaranya.
Adapun yang subdisi itu juga tidak lepas dari hitung-hitungan negara, anggaran kadang dipangkas, tapi disaat yang sama kampus dituntut unggul dan berkelas dunia.
Bagaimana bisa? Mustahil rasanya, anggaran yang dibatasi menginginkan pendidikan yang berkualitas.

Komersialisasi pendidikan semakin nyata dengan adanya regulasi PTNBH, adalah status yang diberikan kepada perguruan tinggi negeri untuk mendapatkan ekonomi dalam mengelola perguruan tinggi sendiri, seperti mengurusi keuangan. Tujuan awalnya adalah meningkatkan kualitas dan efisiensi kampus. Tapi sayang otonomi itu justru tengah memberikan keleluasaan kepada kampus dalam menaikkan UKT karena disesuaikan dengan kebutuhan operasional kampus pasca subsidi dari negara berkurang.

Ya, beginilah hidup di bawah tata kelola negara yang kapitalistik. Kita berjuang sendiri. Sedangkan negara berlepas tangan, padahal masalah ini adalah kewajiban utama negara dalam mengurus hak-hak rakyatnya. Maka tidak ada solusi lain bagi umat hari ini, melainkan kembali pada sistem Islam yakni khilafah. Dimana negara akan hadir sebagai pengurus urusan rakyatnya yang menjamin hak-hak mereka yang diperoleh oleh setiap individu. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya:

"Imam adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya."
(HR. Al-Bukhari)

Berdasarkan hadits di atas, negara wajib memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya, termasuk pendidikan. Karena pendidikan adalah salah satu kebutuhan mendasar yang wajib disediakan negara bagi setiap individu baik laki-laki maupun perempuan, kaya atau pun miskin.

Dalam Islam, pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat yang wajib disediakan negara dan diberikan dengan biaya murah bahkan gratis.
Kenapa bisa gratis? karena negara Islam memiliki sumber pendapatan yang cukup banyak yang dengan itu mampu menggratiskan biaya pendidikan.

Selain itu, negara juga menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai. Seperti gedung-gedung sekolah, buku pelajaran, laboratorium dan sebagainya. Tenaga pengajar yang disediakan juga adalah mereka yang ahli di bidangnya dengan upah yang cukup, karena cukup ini yang membuat pengajar tidak lagi mencari pekerjaan sampingan. Artinya seluruh pembiayaan pendidikan dalam negara khilafah diambil dari Baitul maal, seperti dari pos fai' dan kharaj serta pos kepemilikan umum.

Pendidikan berkualitas dan gratis itu hanya terwujud dalam khilafah Islam. Maka keberadaan khilafah ini adalah mahkota kewajiban yang harus diperjuangkan.

Wallahu a'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak