UKT Memanas, Bagaimana Nasib Generasi?


 


Oleh: Dewi Putri, S.Pd

Kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) belakangan ini semakin hangat diperbincangkan di tengah masyarakat. Dikutip dari cnnindonesia.com 18/05/2024, polemik kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) terjadi di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN), seperti di di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Universitas Negeri Riau (Unri) hingga Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tjitjik Sri Tjahjandarie membantah saat ini ada kenaikan UKT. Menurutnya, bukan UKT-nya yang naik, tetapi kelompok UKT-nya yang bertambah.

UKT yang kian hari kian melejit ini menjadi pusat perhatian dan banyak mahasiswa yang protes bahkan mengundurkan diri karena tak mampu membayar UKT. Protes yang berikan oleh mahasiswa pun diperkeruh dengan respon dari pihak Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjabdarie mengungkapkan bahwa kuliah atau menempuh pendidikan tinggi itu ialah pendidikan tersier. Dengan demikian pemerintah tidak boleh memprioritaskan pendanaan bagi Perguruan Tinggi. Biaya UKT adalah wajib dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan bisa memenuhi standar mutu pendidikan.
Ia juga menuturkan Pendidikan Tinggi di Indonesia belum bisa gratis seperti di negera lain. Karena bantuan operasional di perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutupi semua kebutuhan operasional. Dengan demikian UKT adalah jalan satu-satunya sebagai sumber pendapatan sekaligus mesin demi memenuhi kebutuhan operasional kampus.

Segala kebijakan dalam UU Dikti memberikan otonomi tata kelola termasuk tanggung jawab pendanaan pun kepada institusi, sehingga pendidikan yang tinggi pada akhirnya berpeluang besar untuk menaikkan biaya kuliah yang harus ditanggung oleh mahasiswa. Tidak heran UU ini tersirat untuk mempersempit akses bagi para peserta didik menikmati pendidikan yang berkualitas.

Sungguh ironis, kamuflase sistem kapitalisme di dunia pendidikan negeri ini. Terjebak oleh cara pandang bahwa makin tinggi pendapatan, maka makin besar pula kampus untuk memiliki peluang menaikkan kualitas pendidikanya. Padahal itu semua adalah dalih kamuflase pendidikan yang sengaja dikapitalisasi pendidikan tinggi. Pada saat yang sama ada kesempatan dari penguasa untuk berlepas tangan dari tanggungjawabnya yang besar dan mulia yakni dalam menyiapkan generasi terdidik, para calon pemimpin dan generasi yang berkepribadian bagus.

Kita mengetahui bahwa generasi yang mengenyam pendidikan di bangku kuliah ialah investasi peradaban yang cukup besar bagi kemajuan dan masa depan bangsa. Indonesia enggan melakukan investasi masa depan dalam bentuk pendidikan malah mengkapitalisasi biaya pendidikan yang sangat tinggi secara legal. Ini jelas menghalangi akses untuk menempuh pendidikan bagi masyarakat.

Sangat berbeda dengan  pembiayaan pendidikan dalam sistem pendidikan Islam. Pendidikan adalah salah satu kebutuhan dasar publik yang mekanisme pengelolaanya sebagai fasilitas yang didapatkan oleh semua rakyat. Karena secara syar'inya fasilitas umum ialah segala sesuatu yang dianggap sebagai kepentingan umum oleh manusia.

Dengan demikian pendidikan yang ada di tengah masyarakat hari ini banyak yang tak mampu memenuhinya karena permasalahanya ada pada biaya dan mahalnya UKT.  Padahal pembiayaan dan penyelanggaraan pendidikan jelas tanggungjawab negara. Hal ini akan sangat berat jika dibebankan pada rakyat. Kita pun tidak membiarkan juga pemerintah berlepas tangan dari tanggungjawab tersebut.
Sehingga tak heran bagi kita pembiayaan pendidikan versi kapitalisme hari ini sudah sangat jelas dan nyata dikapitalisasi oleh kampus. Sangat berbeda dengan fungsi pembiayaan pendidikan dalam sistem Islam yakni khilafah.

Pendanaan pendidikan yang diwajibkan oleh syariat sesuai persepsi pandangan Islam terhadap ilmu. Ilmu dan orang berilmu memiliki posisi penting dalam Islam. Dalam khilafah, negara wajib memberikan jaminan pendidikan berupa kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengakses pendidikan tinggi.
Bukan hanya pada persoalan kurikulum, akreditasi sekolah atau perguruan tinggi, metode pengajaran, bahan ajar, sarana prasarana akan tetapi yang lebih penting ialah bagaimana mengupayakan pendanaan agar masyarakat itu mendapatakan fasilitas pendidikan secara gratis. Khilafah juga sangat memperhatikan kesejahteraan dan gaji bagi para pendidik.

Semua jaminan pembiayaan pendidikan dalam khilafah diambil dari kas negara atau Baitu Mal yang bersumber dari dua pendapatan. Yang pertama dari pos fai, kharaj, ghanimah, jizyah atau dari (dharibah) pajak. Pajaknyapun akan dipungut pada orang kaya laki-laki akan diambil ketika kas negara kosong. Kedua ialah diambil dari pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, dan laut yang dikelola oleh negara.

Kehidupan keseharian yang menempuh pendidikan pun akan dijamin sepenuhnya oleh negara, difasilitasi penunjang pendidikan lainnya, yakni seperti perumahan, perpustakaan, dan rumah sakit diberikan fasilitas gratis. Begitu sempurnya pembiayaan pendidikan dalam sistem Islam di bawah naungan khilafah islamiyyah.

Wallahu'alam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak