UKT Memanas, Gegara Visi Pendidikan Tidak Jelas Oleh:

Oleh: Mial, A. Md.T

Masyarakat tengah dihebohkan dengan pemberitaan biaya kuliah yang tinggi. Bahkan Kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) ini menuai aksi protes dari para mahasiswa. Mereka menuntut agar pihak rektorat dan pemerintah meninjau kembali kebijakan kenaikan UKT dan mencari solusi yang lebih pro rakyat.

Polemik kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) terjadi di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN), seperti di di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Universitas Negeri Riau (Unri) hingga Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi membantah saat ini ada kenaikan UKT. Menurutnya, bukan UKT-nya yang naik, tetapi kelompok UKT-nya yang bertambah. (CNN Indonesia, 18/05/2024)

Sistem pendidikan berbadan hukum ini secara perlahan melepaskan tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan, dan membebankannya kepada masyarakat. Kebijakan ini jelas berdampak pada tingginya biaya pendidikan tinggi. Polemik UKT yang masih terus bergulir hingga hari ini adalah salah satu konsekuensinya.

Kebijakan ini terus menuai kritik setelah sejumlah perguruan tinggi merilis besaran UKT di kampus masing-masing. Tidak tanggung-tanggung, kenaikan biaya UKT di sejumlah kampus tersebut bahkan ada yang mencapai 200% hingga 500%. Angka fantastis yang sontak memicu kritik mahasiswa hingga publik.

Wacana otonomi kampus yang menjadikan kemandirian tiap-tiap PT menjalankan proses akademiknya menjadi iming-iming saat pertama kali pemerintah menawarkan konsep BHP-BHMN. Gayung bersambut, universitas berlomba-lomba mengubah statusnya.

Pemerintah berkelit, pendidikan tinggi sesungguhnya memiliki peran strategis untuk kemajuan bangsa. Meski terkategori sebagai program lanjutan, pendidikan di tingkat tinggi menjadi batu loncatan untuk menghasilkan inovasi dan teknologi berbekal ilmu pengetahuan yang mumpuni. Peran krusial ini akhirnya terkesan “sepele” karena paradigma pendidikan tinggi yang saat ini bergeser pada komersialisasi pendidikan.

Pernyataan bahwa pendidikan tinggi sebagai pendidikan tersier adalah konsekuensi paradigma kapitalisme pendidikan. 

Isu ini mewarnai diskusi di kalangan civitas academica menyusul keluarnya kebijakan otonomi kampus dengan dasar BHP-BHMN. Pemerintah yang memaksakan sistem BHP sebagai landasan penyelenggaraan pendidikan nasional telah mengabaikan paradigma pendidikan sesuai amanah UUD dan apa yang mereka sebut dengan mencerdaskan kehidupan bangsa dalam pembukaannya.

Seiring berjalannya waktu, mindset untuk melakukan clustering kampus unggul bergeser. Hanya saja, spirit komersialisasi kian tampak. Status unggul dan berbadan hukum ini pun membuat dunia perguruan tinggi seakan lumpuh untuk mengkritik, padahal pada saat yang sama, negara tengah mengalihkan wewenangnya mengurus kebutuhan rakyat dalam hal ini pendidikan.

Meski PT memiliki hak dan mengurus dirinya, setiap kampus harus mengupayakan pundi-pundi keuangan agar proses akademik di kampusnya berjalan. 

Atas dasar itu, kita menyaksikan perguruan tinggi berlomba-lomba membuka bisnis di tempat masing-masing. Mulai dari membangun pusat-pusat perbelanjaan, hotel, penginapan, SPBU, tempat wisata, penyewaan gedung, dan lainnya. Jalan pintas agar denyut nadi proses pendidikan tetap berjalan tidak lain adalah dengan menaikkan biaya pendidikan.

Mirisnya, pejabat negara dengan entengnya mengabaikan dengan menganggapnya sebagai tertiary education. Ini berkaitan dengan sistem pendidikan berbasis pasar kerja yang diaruskan hari ini. Ilmu di pendidikan tinggi tidak lagi menarik tatkala negara menjadi “sales pendidikan” berbasis pasar. Sederhananya, ilmu tidak begitu penting, yang terpenting adalah skill dan cara agar terserap di dunia kerja dalam waktu singkat. Inilah bencana kapitalisme bagi kemajuan peradaban.

Sejatinya, pendidikan adalah kebutuhan dasar rakyat. Negara berkewajiban menjalankan prosesnya tanpa mengalihkannya kepada pihak mana pun. Hal ini diindikasikan oleh berbagai aspek. Pertama, pendidikan merupakan tonggak berjalannya satu peradaban.

Kedua, upaya pemenuhan kemaslahatan rakyat berpijak pada para ahli yang aktif melakukan inovasi dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Negara seharusnya berinvestasi di bidang pendidikan dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyat.

Ketiga, masa depan satu peradaban sesungguhnya tidak lepas dari sistem pendidikannya. Sudah selayaknya negara menaruh perhatian terhadap hal ini.

Sayangnya, sistem kapitalisme yang hari ini berlaku tidak mampu mewujudkannya. Sistem ini bahkan mendukung terwujud negara yang menjalankan bisnis dengan rakyatnya di semua lini kehidupan. Hal ini tentu berbeda dengan konsep Islam yang di masa kejayaannya mampu menjadi role model dalam mewujudkan peradaban tangguh dan menjadi pusat pendidikan yang maju pada masanya, namun tidak lagi kini.

Perspektif Islam

Islam menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan dasar manusia. Bahkan, perhatian Islam terhadap pentingnya pendidikan masyhur dengan ayat pertama yang Allah Swt. wahyukan kepada Rasulullah dalam surah Al-Alaq, “Iqra bismirabbillaadzi khalaq.” (Artinya; Bacalah dengan menyebut mama Tuhanmu yang telah menciptakan seluruh makhluk).

Banyak ayat lainnya, kita temukan bagaimana Allah memerintahkan manusia untuk mengkaji berbagai fenomena yang ada di alam melalui proses berpikir. Islam bahkan mengibaratkan ilmu sebagai pelita yang menerangi kehidupan. 

Atas dasar ini, setiap muslim termasuk para penguasa yang mengemban amanah pemerintahan, memahami dengan cermat peran strategis pendidikan. Tentu saja, pemahaman ini akan benar-benar terwujud jika individu, masyarakat, dan negara memaksimalkan perannya.

Individu akan terpacu menuntut ilmu karena besarnya ganjaran pahala bagi siapa pun yang menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu. Masyarakat akan menjadi ruang sosial sekaligus laboratorium bagi siapa saja yang hendak menelaah ilmu. 

Sementara itu, negara menyediakan fasilitas, menyusun kurikulum, membangun infrastruktur, sekaligus menyelenggarakan pendidikan dengan tanpa membebankan biaya kepada rakyat.

Negara tidak boleh berlepas tangan atau mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak lain. Untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyat dalam sistem Islam, negara mengandalkan sumber pemasukannya yang ada di baitul mall. 

Sumber pemasukan itu antara lain kharaj, jizyah, ganimah, ‘usr, dan sumber-sumber yang berasal dari kepemilikan umum, seperti sumber tambang, dan sebagainya. Jika kas baitul mall kurang, negara dapat mengerahkan rakyatnya yang memiliki kelebihan harta (aghniyah) untuk menginfakkan hartanya. 

Sebagaimana hari ini pun kita menyaksikan banyak yang tulus menyumbangkan hartanya di bidang pendidikan. Inilah sebagian rangkaian mekanisme negara dalam memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyat, termasuk pendidikan.

Sungguh, sejarah kejayaan peradaban Islam tidak lepas dari peran ilmuwannya. Sangat mudah untuk menemukan fakta ini dalam berbagai manuskrip sejarah maupun ilmiah. Secara konsep, paradigma Islam jauh berbeda dengan kapitalisme. Pendidikan adalah kebutuhan dasar, tidak akan bergeser statusnya kecuali karena hadirnya konsep kapitalisme pendidikan seperti yang ada hari ini.  

Dalam islam pendidikan menjadi salah satu kebutuhan pokok yang menjadi tanggung jawab negara, sehingga biaya pun ditanggung oleh negara.  

Negara islam memiliki sumber pemasukan yang banyak sehingga akan mampu menyediakan pendidikan berkualitas dengan biaya murah bahkan gratis. 

Pendidikan tinggi dalam islam bertujuan untuk membangun kapasitas keilmuan, bukan memenuhi tuntutan industri. Sudah selayaknya konsep-konsep Islam kembali mengisi ruang diskusi akademik sebagai komparasi atas sistem kapitalisme yang berjalan hari ini. 

Wallahu'alam bish-shawab.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak