Freeport Diperpanjang, Pro Kebijakan untuk Siapa?


Oleh: Wiwik Afrah, S.Pd


Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.25 tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Melalui aturan tersebut, Jokowi resmi memberikan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada PT Freeport Indonesia sampai dengan masa umur cadangan tambang perusahaan. Namun demikian, Freeport harus memberikan saham 10% lagi kepada Pemerintah Indonesia, sehingga kepemilikan Indonesia di PT Freeport Indonesia menjadi 61% dari saat ini 51%. (SINDONews/03/05/2024) 

Mental terjajah! Begitulah ungkapan kekecewaan pengamat ekonomi energi dari UGM Fahmy Radhi saat PT Freeport kembali diberikan izin menambang. Nyatanya, telah jelas kerugian negara atas pengelolaan PT Freeport di Timika Papua. Andai saja sedari awal tambang emas dan perak tersebut dikelola negara, niscaya pemasukan negara akan melimpah ruah. Tidak habis pikir, mengapa pemerintah malah memperpanjang kontrak, bahkan hingga cadangan tambang habis? Bukankah keberadaan Freeport tidak memberikan keuntungan kepada negara, kecuali hanya sedikit dari deviden? Itu pun kerap tidak dibayarkan. Pemerintah menutup mata saat perusahaan smelter yang dijanjikan PT Freeport hingga kini belum juga berjalan, walau keuntungan besar dibuatnya perusahaan smelter pun bukan juga pada kas negara. 

Pemerintah juga menutup mata saat Freeport kerap mangkir dari kewajibannya membayar pajak. Di Kabupaten Timika tempat PT Freeport menambang pun, rakyatnya masih saja diliputi kemiskinan, padahal sebagian besar pegawainya adalah anak bangsa. Artinya, sebenarnya kita berkemampuan untuk mengelola tambang secara mandiri. 

Sistem ekonomi kapitalisme telah mendogma para pemimpin untuk membebaskan kepemilikan harta. Siapa pun bisa akhirnya bisa memiliki apa pun selama mampu membelinya. SDA yang sejatinya milik rakyat ujungnya boleh dikuasai oleh siapa saja yang mampu membelinya. Jadilah kekayaan alam negeri ini, mulai dari barang tambang, energi, hingga hutan, hampir seluruhnya dikuasai pemilik modal.

Jika sudah begitu, harta hanya berputar pada segelintir elite dan menumpuk pada kelompok kapitalis, mulai dari pemilik modal, pengusaha, hingga pejabat pemilik konsesi tambang, hutan, tanah, dan kekayaan lainnya. Sungguh malang nasib rakyat yang jumlahnya mayoritas, mereka harus berebut sisa-sisa keserakahan kelompok elite tersebut. Selain itu, peran negara dalam sistem kapitalisme amatlah minim. Mereka menyebut bahwa ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar bebas, padahal sejatinya hal tersebut adalah bentuk pengabaian negara terhadap nasib rakyatnya. Subsidi BBM, listik, dan air yang mengalir pada rakyat, dianggap beban APBN, sedangkan subsidi mobil listrik yang mengalirkan keuntungan pada perusahaan asing, malah disebut subsidi produktif.

Sebagai sebuah ideologi, Islam telah memiliki tata kelola yang khas mengenai pengelolaan SDA. Dalam Islam, air, hutan, dan energi adalah milik umum. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Hadis tersebut telah dengan tegas menyampaikan bahwa ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu. Pengelolaannya pun tidak boleh diserahkan ke swasta, melainkan harus sepenuhnya dikelola negara dan dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk layanan publik.Terkait barang tambang, telah dijelaskan oleh HR Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Saat itu, Abyad meminta kepada Rasulullah saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul pun membolehkannya. Namun, tidak lama kemudian, beliau diingatkan oleh sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan (bagaikan) air mengalir (ma’u al-‘idda).” Berkata (perawi), “Kemudian beliau saw. menarik kembali tambang tersebut.”

Pengelolaan negara yang mandiri atas SDA setidaknya memberikan dua keuntungan. Pertama, hasil pengelolaannya menjadi sumber pemasukan negara yang amat besar sehingga negara mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Kedua, negara bisa terbebas dari utang luar negeri yang amat menyandera kebijakan dalam negeri sehingga negara bisa terlepas dari campur tangan asing.Kas negara (baitulmal) yang begitu besar dari pengelolaan SDA ini, bisa dialokasikan untuk biaya eksplorasi dan eksploitasi SDA. Mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang berhubungan dengan pengelolaan SDA.Khalifah boleh dan bisa membagikan secara langsung hasil SDA yang siap dikonsumsi kepada rakyat, bisa juga dalam bentuk pelayanan kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Yang jelas, semua harus kembali kepada rakyat sebab pemilik hakiki SDA yang melimpah adalah rakyat.

Wallahu ‘alam bisshowab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak