PHK Massal Keniscayaan dalam Sistem Kapitalisme


Oleh : Dian Safitri

Lagi dan lagi, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal kembali terjadi. Satu per satu pabrik industri padat karya, seperti: tekstil, garmen, hingga alas kaki di Indonesia menghentikan operasionalnya alias tutup.

Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun tak terelakkan lagi. Bukan hanya buruh/pekerja saja yang terdampak oleh adanya fenomena PHK, melainkan warga di sekitar pabrik yang tutup itu. Misalnya Komarudin, seorang Kepala Dusun yang tempat tinggalnya persis di samping pabrik, terpaksa harus menjual beberapa unit kontrakannya karena sepi akibat ditinggal para buruh, yang awalnya beliau punya 15 pintu, dan tersisa 11 pintu saja, empatnya sudah dijual karena pabrik itu bangkrut dan masih banyak lagi kasus yang sama maupun yang berbeda
(cnbcIndonesia.com, 14/06/2024).

PHK massal menjadi tolak ukur bahwa perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Fakta gelombang PHK akibat ekonomi dunia yang sulit sungguh tidak bisa dikendalikan. Lapangan pekerjaan semakin sulit. Mirisnya, di tengah kesulitan lapangan pekerjaan, penguasa justru mengesahkan Undang-undang ciptaker baru yang melegalkan mekanisme outsourcing artinya mekanisme ini akan semakin menyusahkan rakyat. Tidak bisa dipungkiri, maraknya PHK semakin menunjukkan kegagalan penguasa, sekaligus menegaskan bahwa sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini telah mendzalimi rakyat.

Dalam menghadapi kondisi ekonomi yang sulit, perusahaan berusaha menekan biaya produksi dan dengan alasan efisiensi maka dilakukan PHK masal. Kesulitan lapangan pekerjaan yang dialami rakyat adalah tanggung jawab negara. Tetapi penerapan sistem kapitalisme menjadikan negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator yang memuluskan kepentingan para kapitalis.
PHK massal akan terus terjadi jika negara terus menerapkan sistem kapitalisme. Sistem ini berlepas tangan dari pengurusan urusan rakyat termasuk dalam menjamin tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai.

Sistem kapitalisme sangat berbeda dengan sistem Islam, ibarat siang dan malam. Islam menempatkan negara sebagai pengurus yang memiliki peran sangat vital dalam menyejahterakan rakyat.  Sebagaimana Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya:

"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya."
(HR. al-Bukhari)

Pemimpin dalam sistem Islam akan menjamin kesejahteraan rakyatnya. Syariat Islam memiliki berbagai mekanisme yang ditetapkan hukum
syara' dengan penerapan sistem politik dan ekonomi Islam.

Politik dalam negara Islam mewajibkan negara menjamin terciptanya iklim usaha yang sehat agar tidak terjadi gelombang PHK,  jaminan tersebut dapat diwujudkan melalui qonun atau undang-undang yang ditetapkan negara, diantaranya seperti harga barang atau jasa mengikuti mekanisme pasar dan pengharaman praktik monopoli. Penerapan aturan sesuai syariat, masyarakat akan mendapatkan kemaslahatan.

Tidak hanya itu, penerapan sistem ekonomi Islam membuat masyarakat mendapatkan jaminan kebutuhannya terpenuhi. Seperti kebutuhan bekerja, negara akan menyediakan lapangan pekerjaan yang luas sehingga para laki-laki akan sangat mudah memenuhi kebutuhan pokok orang-orang yang menjadi tanggungannya.

Lowongan pekerjaan juga bisa berasal dari sektor pengelolaan SDA karena dalam Islam pengelolaan SDA wajib dikelola oleh negara, negara juga bisa menyerap tenaga ahli dan terampil dari rakyatnya dengan jumlah yang besar. Dengan demikian masyarakat tidak ada yang menganggur. Semuanya mendapatkan pekerjaan dengan jaminan penuh oleh negara dan itu hanya bisa terwujud dalam sistem khilafah yang menerapkan Islam kaffah.

Wallahu'alam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak