Tapera: Kebijakan Zalim untuk memenuhi Kebutuhan Rumah


Oleh: Wiwik Afrah, S.Pd (Aktivis Dakwah)


Polemik Tabungan Perumahan Rakyat ( Tapera ) terus bergulir setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera. Gelombang penolakan terus terjadi, lantaran PP tersebut akan mewajibkan perusahaan memotong gaji pekerja swasta Nantinya para karwayan bakal mendapatkan potongan gaji sebesar 3% sebagai iuran Tapera, dengan rinciannya 2,5% ditanggung pekerja dan 0,5% menjadi tanggung jawab perusahaan pemberi kerja. Kewajiban iuran Tapera diyakini bakal menambah beban kelas menengah di Indonesia, lantaran daftar potongan gaji yang diterima karyawan semakin panjang. (SINDONews/30/05/2024)

Kebijakan ini ditentang banyak pihak, terutama pekerja dengan alasan pertama, menyesakkan pekerja. Bagi pekerja dengan gaji UMR, potongan 3% untuk Tapera makin memperkecil nominal gaji yang diterima mereka. Bukan hanya Tapera, gaji pekerja sejatinya sudah dipotong dengan beragam program, seperti pajak penghasilan (5—35%), jaminan hari tua (2%+3,7% perusahaan), jaminan pensiun (1%+2% perusahaan), jaminan kematian (0,3%), BPJS kesehatan (1%+4% perusahaan), dan Iuran Tapera (2,5% dan 0,5% oleh pemberi kerja). Belum lagi jika kita bicara perihal pemenuhan kebutuhan hidup yang kian meningkat. Gaji pegawai ASN dan para pekerja makin menyusut dipangkas berkali-kali. Negara hanya tahu memangkas sumber penghasilan rakyat tanpa mau tahu kesulitan hidup yang mereka hadapi. 

APINDO dalam keterangan persnya menyebut bahwa iuran 3% untuk Tapera tidak diperlukan karena bisa memanfaatkan sumber pendanaan dari BPJS Ketenagakerjaan. Sementara itu, menurut Ketua Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Mirah Sumirat, pemerintah seharusnya yang bertanggung jawab dan berkewajiban menyediakan perumahan bagi rakyat, bukan memotong gaji para pekerja. Ini sama saja memiskinkan para pekerja secara pelan-pelan. 

Menurutnya, BPJS Ketenagakerjaan yang rutin dibayar para pekerja saja tidak memberikan banyak manfaat dan tidak diklaim karena tidak tahu caranya. Ia menyinyalir dana Tapera akan bernasib sama dengan BPJS Ketenagakerjaan. Kedua, berpotensi menjadi lahan baru korupsi. Tampaknya pemerintah tidak mau belajar dari BPJS Kesehatan, korupsi Asabri, Jiwasraya, dan Taspen. Amburadulnya lembaga negara tersebut semestinya menjadi pelajaran. Bukan malah membuka peluang muncul masalah baru. Dengan simpanan yang begitu panjang, siapa yang bisa menjamin dana simpanan Tapera itu diam dan tenang di tempatnya? Inilah potensi lahan baru korupsi. Ketiga, kepedulian dan kepekaan penguasa minim. Setiap iuran yang sifatnya menabung harusnya tidak dipaksakan untuk membayar. Apalagi memotong gaji si penerima gaji tanpa permisi dan diskusi. Main atur, main paksa, dan main sunat gaji. Sedangkan negara sendiri belum optimal memberikan pelayanan kepada rakyat dengan sebaik-baiknya.

Dalam Islam, pemimpin hadir memberi layanan sebaik mungkin. Tugasnya adalah mengurus urusan rakyat, bukan mengeruk keuntungan dari rakyat. Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam (Khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya.” (HR Bukhari). Rumah adalah salah satu kebutuhan dasar bagi rakyat. Sudah semestinya penyelenggara perumahan rakyat sepenuhnya menjadi tanggungan negara, tanpa kompensasi dan tanpa iuran wajib, semua ditanggung negara. 

Negara bukan pengumpul dana rakyat. Negara bertugas memenuhi kebutuhan rakyat.Negara bisa memberikan kemudahan pembelian tanah dan bangunan, juga bisa membangun perumahan rakyat dengan harga yang sangat terjangkau atau murah. Negara memenuhi kebutuhan pokok lainnya, seperti sandang dan pangan dengan menetapkan kebijakan pangan yang murah. Para pencari nafkah juga akan mudah dalam mengakses dan mencari pekerjaan sebab negara berkewajiban menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat.

Tugas seorang pemimpin adalah memberikan kenyamanan bagi rakyatnya, termasuk dalam perkara kebutuhan rumah. Jangan sampai kebijakannya justru menyusahkan rakyat sebagaimana sabda Nabi ﷺ dalam riwayat muslim. Dari ‘Aisyah berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Ya Allah, barang siapa  yang mengurusi urusan umatku, lantas ia membuat susah mereka, maka susahkanlah ia. Dan barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas ia mengasihi mereka, maka kasihilah ia.”

Islam menjadikan rumah sebagai kehormatan yang wajib dijaga dan dilindungi. Para ulama di masa lalu telah menuturkan kebijakan Khilafah tentang pembangunan rumah tempat tinggal dengan memperhatikan prinsip tersebut. Sebut saja, Kitab Al-Qismah wa Ushul al-Aradhin karya Abu Bakar al-Farfattha’i, ulama abad ke-5 H. Juga Kitab Al-I’lan bi Ahkam al-Bunyan karya Ibnu Rumi, ulama abad ke-8 H. Mulai dari pemilihan lokasi, ketinggian rumah, jumlah kamar, teras, pagar hingga ventilasi pun diatur oleh Islam. Kebijakan ini telah diterapkan oleh para khalifah pada masa lalu. Soal lokasi, sebaiknya jauh dari masjid. Pertama, karena kawasan dekat masjid akan menghalangi perluasan masjid. Kedua, karena makin jauh, makin besar pahalanya. Juga termasuk kawasan yang bersih dan lingkungan yang baik. (Degrisarsitek/2/5/2019).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak