Buzzer Bergerak Bela Kepentingan Oligarki
Oleh : Wiwik Afrah, S.Pd (Aktivis Muslimah)
Lini masa media sosial ramai dengan unggahan "Peringatan Darurat" bergambar Burung Garuda dengan latar belakang berwarna biru. Gambar tersebut diunggah di media sosial X (Twitter) oleh banyak warganet dan influencer sejak Rabu (21/8/2024). Poster tersebut diunggah sebagai bentuk perlawanan masyarakat usai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pencalonan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024. Senada dengan hal itu , Panglima Manguni Makasiaow, Andy Rompas bela Presiden Jokowi soal Indonesia Darurat. Bahkan, dia mengomentari aksi people power di Jakarta. "Saya tidak membahas masalah politik di sini, yang saya maksud adalah yang membawa nama Indonesia tidak baik-baik saja itu siapa?" tanya Panglima Manguni tersebut dikutip siap.viva.co.id dari tayangan video di akun Facebook pribadinya pada Jumat, (23/8/2024). Menurut Andy Rompas, Indonesia saat ini baik-baik saja.
Peringatan darurat yang menggaung beberapa waktu lalu menunjukkan kondisi riil negeri ini. Menggaungnya peringatan darurat tersebut merupakan ekspresi kekecewaan masyarakat atas upaya DPR menganulir putusan MK mengenai aturan Pilkada. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kondisi politik hari ini sungguh membuat gerah. Kekecewaan masyarakat kian tidak terbendung. Pasalnya, tidak terhitung berapa banyak kebijakan yang pro oligarki. Politik dinasti yang terus dipertontonkan para politisi pun melukai nurani rakyat. Para elite saling membagi kekuasaan, sementara rakyat harus menanggung beban ekonomi yang makin mencekik. Tentu saja, kondisi ini seharusnya membangkitkan daya kritis.
Sayang, untuk menutupi ketakmampuannya, pemerintah berupaya memoles kinerja dengan memanfaatkan para buzzer dan influencer. Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah menyoroti besarnya anggaran yang pemerintah gelontorkan untuk menyewa para buzzer dan influencer. Tidak tanggung-tanggung, anggarannya pada 2020 saja mencapai Rp90,45 miliar, itu pun dengan jumlah yang terus meningkat setiap tahunnya sejak 2017. Adanya buzzer dan influencer justru menampakkan bahwa negara dijalankan oleh orang-orang yang tidak kapabel, yang akan senantiasa melakukan pencitraan agar terlihat bekerja untuk rakyat. Dengan memanfaatkan segelintir orang, pemerintah melakukan fabrikasi citra dengan sejumlah narasi. Tujuannya tidak lain untuk membangun citra positif. Hal ini mudah saja dilakukan, terlebih di era post-truth dan digitalisasi media. Era post-truth merupakan adalah suatu era ketika kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Caranya dengan memainkan emosi dan perasaan warga dunia maya. Fenomena itu kian masif di tengah kondisi masyarakat yang apolitis seperti saat ini. Dengan mudah, narasi pencitraan yang sengaja negara ciptakan melalui buzzer, mengarahkan publik untuk menerima segala sesuatu yang mereka saksikan di linimasa. Para buzzer ini secara sadar berupaya menggiring opini publik untuk membela pemimpin yang telah merumuskan berbagai kebijakan tidak populer di tengah-tengah masyarakat. Demikianlah drama itu berlangsung dalam episode kehidupan rakyat yang tertipu gimik penguasa. Di tengah sistem politik yang menghalalkan segala cara, para politisi merasa sah-sah saja memoles kinerja mereka yang amburadul dengan memanfaatkan buzzer.
Pada titik ini, kita menyaksikan bahwa negara tidak kapabel mengurus rakyat. Namun melakukan fabrikasi citra malah dijadikan solusi demi meraih simpati dari rakyat. Sungguh, ini menunjukkan lemahnya negara sekaligus ketakmampuan para pejabat pemerintahan. Alih-alih mencari solusi atas permasalahan rakyat, mereka justru menutupi kondisi rusak. Tidak pelak, tagar “Indonesia baik-baik saja” tentu saja bertolak belakang dengan kondisi Indonesia. Suatu kekuasaan sesungguhnya akan dapat berjalan dengan baik jika masyarakatnya kritis dan politis. Profil masyarakat yang seperti ini bukanlah ancaman bagi pejabat pemerintah. Sebaliknya, masyarakat kritis merupakan tanda bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara berjalan dalam ritme yang sama antara masyarakat dan penguasa. Dalam Islam, atmosfer kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini ditopang oleh tiga pilar. Pertama, individu yang bertakwa. Kedua, masyarakat kritis yang senantiasa hadir untuk melakukan muhasabah kepada penguasa. Ketiga, negara yang menjalankan pemerintahan dengan amanah dan memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi kepada siapapun yang melanggar syariat. Ketiga pilar ini bahu-membahu menciptakan suasana aman dan tertib di kehidupan sosial, atas dasar keimanan. Dalam Islam, masyarakat bukan sekadar kumpulan individu yang menempati ruang.
Dalam Islam, negara bertanggung jawab untuk melakukan edukasi kepada rakyat melalui pendidikan formal maupun nonformal. Pada pendidikan formal, negara membangun fondasi agar tercipta masyarakat yang berilmu dan mencintai ilmu. Melalui penyelenggaraan pendidikan, negara memahat pemahaman masyarakat sekaligus membentuk kesadaran mereka sebagai seorang hamba. Negara juga aktif melakukan edukasi nonformal melalui taklim di masjid maupun tempat-tempat umum, juga memanfaatkan kanal-kanal media. Dengan pendidikan yang mereka miliki, terbentuk individu-individu rakyat yang berpikir rasional, cemerlang, dan mendalam. Ilmu yang mereka peroleh serta tsaqofah Islam yang mereka miliki menjadi petunjuk dalam menjalankan tugas mereka sebagai masyarakat, yang tidak lain adalah para hamba Allah di muka bumi. Inilah realisasi dari amanah ilmu yang hakiki. Mereka juga akan berani tampil melakukan amar makruf nahi mungkar sebagai realisasi dari perintah syariat untuk saling menasihati, juga melakukan muhasabah kepada penguasa.
Rasulullah saw. bersabda, “‘Agama adalah nasihat.’ Kami (sahabat Nabi) bertanya, ‘Untuk siapa?’ Beliau menjawab, ‘Untuk Allah, kitab, Rasul, para pemimpin muslimin dan mereka secara umum.'” (HR Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Syafi’i, Ahmad, Darimi, Ibnu Hibban, dan At-Thabrani). Juga dalam hadis, “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011).
Saling mengingatkan dalam perkara yang makruf adalah ciri masyarakat Islam. Selain itu, saling mengingatkan adalah bukti cinta antarsesama. Bayangkan jika amar makruf ini hilang di tengah-tengah kaum muslimin, maksiat akan merajalela dan para pelakunya kian bangga melanggar syariat. Kondisi ini meniscayakan individu masyarakat untuk mampu berpikir politik. Melakukan aktivitas politik bukan semata tugas para penguasa. Jika merujuk pada makna politik dalam Islam yakni mengurusi urusan umat, setiap muslim adalah politisi. Untuk itu dalam negara Islam, siapa pun layak menjadi politisi. Dengan kata lain, setiap muslim mengemban tanggung jawab untuk memperhatikan pemenuhan kemaslahatan umat. Hal ini pula yang menjadi sebab seorang muslim diperintahkan untuk senantiasa memikirkan kaum muslimin. Rasulullah saw. bersabda,“Barang siapa bangun di pagi hari, tetapi dia tidak memikirkan kepentingan umat Islam, maka dia tidak termasuk umatku.” (HR Muslim). Dengan begitu, akan tercipta harmonisasi hubungan antara masyarakat dan penguasa. Penguasa tidak memerlukan buzzer untuk memoles citra dan kinerja mereka. Ini karena mereka sadar bahwa tanggung jawab pemerintahan tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Masyarakat pun tidak boleh diam melihat kemungkaran yang penguasa lakukan, apalagi menjadi buzzer penguasa khianat. Sudah selayaknya masyarakat menyalakan daya kritis, seraya berperan dalam menciptakan opini yang akan menjadi solusi atas kondisi rusak saat ini.
Allah Swt. berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-Asr [103]: 1-3).
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar