Antara Aku dan Pajak yang Naik Tahun Depan

Aisyah, S.E (Aktivis Dakwah)

Hayoo kalian udah tau belum informasi kenaikan pajak tahun depan?

Pasal 7 (1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu: a. sebesar 11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022; b. sebesar l2% (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025," bunyi Pasal 7 Ayat (1) UU tersebut. (Kompas, 15/9/2024).

Apa aja bisa kena pajak yah, termasuk yang bikin geger warganet nih, yaitu bangun rumah sendiri bakalan kena pajak 2,5%. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik, otomatis menaikan pajak yang lain.

Pertambahan Nilai (PPN) membangun rumah sendiri atau tanpa kontraktor akan naik dari 2,2 persen akan menjadi 2,4 persen mulai tahun depan. (CNN Indonesia, 15/9/2024)

Belum pajak ini, eh ada pajak lainnya, plus persentase pajak naik lagi, komplit sudah.

Pajak menjadi sumber penghasilan utama negara, yah wajar pajak kocar kacir dinaikkan untuk menutupi segala kekurangan anggaran yang ada.

Pemerintah meraih pendapatan di luar pajak senilai Rp 605,9 triliun sepanjang 2023. Sebagian pendapatan ini disumbangkan dari layanan empat kementerian dan lembaga. Sedangkan pendapatan negara dari pajak sepanjang 2023 mencapai Rp 2.155,4 triliun atau tumbuh 5,9 persen dari tahun 2022 dengan rasio pajak terhadap PDB sebesar 10,52 persen. (CNN Indonesia, 30/1/2024)

Sebelum nya kita berikan penghargaan setinggi-tingginya atas prestasi yang disampaikan oleh Kemenkeu.

Tapi ditelaah lebih jauh, potensi kekayaan Indonesia yang melimpah ternyata hanya sekian persen masuk pendapatan negara. What kemana hasil bumi ini? Jawaban pertanyaan ini sudah jadi rahasia umum. Kalau bukan dikelola segelintir orang, yah diberikan ke asing yang kelola.

Rakyat menanggung pajak, kebutuhan hidup yang semakin mahal, ditambah pajak yang terus naik. Apa tidak menangis rakyat ini pak?

Tapi siapa yang peduli dengan itu semua, pajak kan untuk kesejahteraan rakyat "katanya". 

Ada beberapa potensi unggul yang tidak dikelola dengan maksimal, hanya mengambil yang sedikit dan memberatkan rakyat.

Yah, lagi lagi ini semua tergantung dari pemikiran/pemahaman/pandangan hidup. Kenapa? Karena seseorang akan memutuskan sesuatu hal sesuai pemahamannya. Misalnya jika pemahaman nya kapitalis yang selalu mengaitkan untung rugi di setiap kebijakan atau pilihan yang diambil yang sifatnya materi dan duniawi. Alhasil mereka tak peduli dengan orang lain, mereka hanya peduli dengan diri dan kepentingan nya saja.

Pengaturan Pajak dalam Islam Sangat Berbeda dengan Sistem Kapitalisme

Dalam Islam, sesungguhnya tidak ada pajak yang diambil dari masyarakat sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalisme—barang-barang dikenakan pajak, termasuk rumah, kendaraan, bahkan makanan. Nabi saw. dahulu mengatur urusan-urusan rakyat dan tidak terbukti bahwa beliau memungut pajak atas masyarakat. Tidak ada riwayat sama sekali bahwa beliau memungut pajak. Ketika beliau mengetahui bahwa orang di perbatasan daulah mengambil pajak atas komoditas yang masuk ke negeri, beliau justru melarangnya. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tidak masuk surga pemungut cukai.” (HR Ahmad dan disahihkan oleh Al-Hakim).

Memang tidak dimungkiri bahwa dalam Islam juga dikenal adanya pajak dengan istilah “dharibah”. Akan tetapi penerapan dan pengaturannya sangat berbeda secara diametral dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme.

Syekh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Taala kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitulmal kaum muslim untuk membiayainya. 

Syarah telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di baitulmal tetap harus berjalan. Jika tidak ada harta di baitulmal, kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum muslim. Ini karena jika tidak, akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar saat baitulmal tidak ada dana inilah, Khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau baitulmal mempunyai dana untuk menutupinya. 

Dalam Islam, pajak tidak diambil, kecuali pada kondisi yang wajib memenuhi dua syarat. Pertama, hal itu diwajibkan atas baitulmal dan kaum muslim sesuai dengan dalil-dalil syarak yang sharih (jelas). Kedua, tidak ada harta di baitulmal yang mencukupi untuk kebutuhan itu. Dalam kondisi ini saja baru boleh mengambil pajak untuk memenuhi kebutuhan tanpa tambahan, diambil dari kelebihan harta orang-orang kaya, yaitu dari kelebihan untuk kebutuhan pangan, papan, dan sandang orang kaya itu beserta keluarganya, pembantunya, dan apa yang ia kendarai untuk menunaikan kebutuhannya dan sesuai kewajaran di masyarakat

Firman-Nya, “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘Yang lebih dari keperluan.’” (QS Al-Baqarah: 219).

Ringkasnya, tidak ada pajak di dalam Islam, kecuali pada kondisi ini dan sesuai dengan kadarnya tanpa tambahan. Tidak diambil, kecuali dari zhahri ghina (orang kaya) dan itu adalah kondisi yang dalam sejarah Islam sangat jarang terjadi sebab sumber-sumber pemasukan tetap negara (fai, kharaj, jizyah, hasil eksplorasi SDA , termasuk bahan tambang dan sebagainya) cukup untuk itu.

Islam adalah agama dengan aturan kompleks berasal dari Allah Sang Pencipta. Pola pikir islami akan membentuk pola sikap yang baik, mereka tak akan bertindak sewenang-wenang karena standar nya Al-Qur'an dan Sunnah. Ketakutan kepada Allah menjadi penghalang seseorang untuk berbuat kemungkaran.

Islam sudah jelas mengatur bagaimana negara harus melihat dan mengayomi rakyatnya, negara wajib mengurus urusan umat yang dilandasi ketakwaan. 

Pajak bukanlah sumber tetap pendapatan baitulmal (kas Khilafah). Pendapatan ini bersifat insidental ketika kondisi kas negara kosong dan hanya dibebankan kepada orang-orang kaya. (“Muqaddimah Ad-Dustur”, Nizham al-Iqtishadi fil Islam).

Coba pengaturan individu, masyarakat, dan negara kambali di atur oleh Islam, sistem dan aturan yang shahi tak ada kecacatan. Negara kita mayoritas penduduk muslim, ayolah bangkit dan berfikir kritis.

Kebaikan individu dan masyarakat untuk sekitar harus dilakukan semampu kita, tapi untuk mempercepat itu semua diperlukan negara yang eksekusi aturan syariat secara menyeluruh dalam lini kehidupan. Minimal pedoman buat aturannya bukan dari akal manusia lagi, tapi dari Al-Qur'an dan Sunnah.

Akar masalah harus dituntaskan, ganti sistem kufur dengan sistem Islam.

Wallahu'alam bissawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak