Pajak, Semakin Mencekik



Oleh : Wiwik Afrah (Aktivis Muslimah)

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, memastikan paket kebijakan insentif dan stimulus tetap diberlakukan meskipun kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) naik menjadi 12 persen hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah. Meski semestinya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai hanya berlaku untuk barang mewah, sejumlah barang dan jasa tetap ikut terdampak tarif PPN 12 persen. Kenaikan pungutan pajak itu terjadi atas sejumlah barang dan jasa yang sehari-hari cukup sering diakses masyarakat. Misalnya, PPN atas kegiatan membangun dan merenovasi rumah, pembelian kendaraan bekas dari pengusaha penyalur kendaraan bekas, jasa asuransi, pengiriman paket, jasa agen wisata dan perjalanan keagamaan, dan lain sebagainya.

Terdampaknya pengenaan PPN atas sejumlah barang dan jasa itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 yang mengatur tentang skema PPN di tahun 2025, yaitu tarif efektif 12 persen untuk barang-barang mewah dan tarif efektif 11 persen untuk barang-barang non-mewah. Tidak lama setelah dinyatakan bahwa PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah, pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pun buru-buru mengonfirmasi dan memastikan agar para pengusaha mengembalikan dana kelebihan 1% PPN itu kepada konsumen. Ini menegaskan, barang dan jasa umum tetap dikenakan tarif PPN 11% sesuai dengan PMK 31/2024 yang terbit pada 31 Desember 2024. Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyatakan bahwa pihaknya tengah membahas mekanisme dan panduan teknis untuk memastikan pelaksanaan pengembalian dana berjalan lancar sehingga dapat menjamin hak wajib pajak tetap terlindungi.

Namun, sungguh realitas ini tidak ubahnya drama. Saat ini yang terjadi adalah kesimpangsiuran informasi, kebingungan implementasi, dan kerumitan administrasi pajak. Hal itu bisa berakibat buruk pada iklim usaha dan ekonomi negara. Lebih buruk lagi, tujuan populis yang ditargetkan oleh pemerintah justru berpotensi tidak tercapai. Nyatanya, meskipun pemerintah meyakinkan bahwa PPN 12% hanya untuk barang mewah, fakta di lapangan menunjukkan bahwa harga-harga barang lain tetap naik. Ini akibat kebijakan yang berubah-ubah hingga tiga kali dalam satu bulan. Juga diiringi narasi dan komunikasi pemerintah yang tidak efektif sehingga menimbulkan efek psikologis pengusaha untuk mengantisipasi kenaikan PPN, yakni dengan menaikkan harga produknya. Satu hal yang pasti atas kondisi ini adalah menguatnya profil penguasa populis otoriter. Gaya kepemimpinan populis otoriter penguasa baru ini pun dipandang hanya melanjutkan, bahkan memperkuat dan menyempurnakan gaya kepemimpinan pendahulunya yang tidak kalah populis dan cenderung represif otoritarian.

Menurut pakar ekonomi dan akademisi Nida Saadah, S.E., Ak., M.E.I., pajak adalah konsep pungutan negara yang sudah sangat tua dan usang, serta makin terlihat ketakmampuannya dalam membangun sumber penerimaan negara yang produktif. Nida menjelaskan, konsep pungutan pajak yang usang ini digagas oleh ekonom Inggris Adam Smith yang ditulis dalam The Wealth of Nation yang terbit pada 1776. Dalam buku itu, ungkapnya, ada empat mekanisme yang diperhatikan dalam pungutan pajak yang dikenal dengan the four maxims taxation. Ia memaparkan, asas-asas pemungutan pajak atau disebut The Four Maxims menurut Adam Smith terdiri atas empat asas, yakni equality (kesetaraan), certainty (kepastian), convenience (kenyamanan), dan economy. Nida mengajak untuk mengamati lebih dalam konsep Adam Smith. “Kalau kita membandingkan dengan konsep Adam Smith yang menyebut ada The Four Maxims, justru keempat hal itu hanya terjadi pada sistem pemungutan pajak dalam kapitalisme, tidak terjadi pada sistem islam,” tegasnya.

 Pertama, ungkapnya, konsep equality (kesetaraan atau keadilan). “Kalau dikatakan sistem pajak tadi seharusnya adil, faktanya tidak pernah adil. Sementara kalau dalam Islam dikenal sistem zakat dan  sistem zakat terlihat sangat adil karena hanya dibebankan pada orang kaya,” terangnya. Kedua, jelasnya, dikatakan dalam teori Adam Smith, pajak itu haruslah ada unsur kepastian, faktanya juga terlihat tidak pernah pasti, karena tarifnya terus bergerak naik. “Sementara kalau kita lihat dalam sistem zakat ma,l tarifnya tidak boleh diubah atau dimodifikasi karena sumbernya terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunah. Jadi, unsur kepastian, justru kita temui pada sistem pungutan dalam Islam,” paparnya. Ketiga, ia menambahkan, dikatakan pajak harus berbasis kemudahan, yaitu dipungut saat dekat dengan penghasilan. “Faktanya dalam sistem pajak, meskipun penghasilannya tidak naik atau tidak dalam waktu mendapatkan penghasilan, pajaknya terus-menerus diberlakukan,” ujarnya. Sementara dalam zakat mal tadi, lanjutnya, justru terlihat zakat mal dipungut pada saat momen yang terbaik dan bisa dibayarkan dalam bentuk apa pun. “Zakat mal ada haul (batasan waktu kepemilikan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, yaitu selama satu tahun) dan nisab (batasan minimal harta yang wajib dikenakan zakat), yaitu momen terbaik pada saat memungut ketika terkena haulnya dan mencapai nisabnya,” bebernya. Ia mengatakan, kalau tidak mencapai nisab, maka tidak dipungut. “Jadi, dalam Islam ada aspek convenience payment (kenyamanan dalam pembayaran). Berbeda dengan sistem pajak yang dipungut secara terus-menerus, memaksa, bahkan ada ancaman dendanya juga,” tuturnya. Keempat, terangnya, pajak dikatakan haruslah efisien. “Pada faktanya, jangankan efisien, banyak sekali hasil pemungutan pajak yang justru dikorupsi oleh siapa pun yang terlibat dalam proses pungutannya,” katanya. Sementara di dalam Islam, ungkapnya, ada aspek ruhiyah dan biaya pungutannya sangat rendah, sehingga tidak memerlukan sistem organisasi yang membutuhkan biaya besar. “Selain itu, kalau kita lihat dalam sistem pungutan Islam yang tidak berbasis pajak, justru mengacu kepada sistem pungutan produktif untuk harta masyarakat yaitu sistem zakat mal dan pengenaan terhadap tanah produktif dengan pungutan kharaj,” jelasnya.

Islam adalah ideologi, bukan hanya perkara keyakinan, tetapi juga mengatur seluruh urusan kehidupan. Syariat Islam kafah akan menjadi solusi ketika diterapkan secara sempurna oleh negara. Sosok pemimpin Islam tidak berhenti pada diri Rasulullah ﷺ, para khalifah setelah beliau pun terus melanjutkan konsep kepemimpinan beliau. Di antaranya Khalifah Umar bin Khaththab ra., sosok pemimpin yang peduli dan sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Imam Jalaluddin as-Suyuti dalam Tarikhul Khulafa mengisahkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab ra. adalah orang yang pertama kali membuat lumbung-lumbung cadangan makanan (seperti tepung gandum, kurma, kismis, dan air) di antara Kota Makkah dan Madinah. Tujuannya adalah agar para pedagang, musafir, atau bahkan yang pergi haji/umrah tidak kelaparan jika persediaan bekal mereka habis. Makanan-makanan ini dibagikan secara gratis bagi mereka yang membutuhkannya.

Khalifah Umar pula yang menetapkan kebijakan untuk tidak membagikan tanah Irak, Syam, dan Mesir. Berdasarkan pemahaman beliau terhadap ayat-ayat fai, harta tersebut tidak dibagi-bagikan kepada pasukan yang ikut berperang, tetapi dimasukkan ke dalam sumber pendapatan yang bersifat tetap dan pasti untuk berbagai pembiayaan. Dari sumber tersebut, dibiayai seluruh kemaslahatan negara, baik untuk tentara, makanan, orang-orang fakir dan miskin, anak yatim, para janda, juga untuk mewujudkan kemaslahatan kaum muslim. 

Wallahu ’alam bisshowab. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak