Penerapan Kebijakan Pajak Membuat Rakyat Menderita?












Oleh: Mira, S.M.


Isu kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% cukup memanas pada awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Terakhir Prabowo mengambil arah kebijakan populis dengan “membatalkan” kenaikan PPN secara umum dan sekadar menaikkan PPN untuk barang mewah.


Di atas kertas, kebijakan itu melegakan rakyat karena harga berbagai barang dan jasa tidak jadi naik bersamaan pada 2025. Namun, langkah itu juga menunjukkan tidak konsistennya pemerintah dalam memutuskan kebijakan ekonomi yang menyangkut hajat hidup rakyat.


Fakta menunjukkan walaupun kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai hanya berlaku untuk barang mewah, sejumlah barang dan jasa tetap ikut terdampak tarif PPN 12 persen. Kenaikan pungutan pajak itu terjadi atas sejumlah barang dan jasa yang sehari-hari cukup sering diakses masyarakat. 


Misalnya, PPN atas kegiatan membangun dan merenovasi rumah, pembelian kendaraan bekas dari pengusaha penyalur kendaraan bekas, jasa asuransi, pengiriman paket, jasa agen wisata dan perjalanan keagamaan, dan lain sebagainy (Kompasid, 03/01/2025).


Terdampaknya pengenaan PPN atas sejumlah barang dan jasa itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 yang mengatur tentang skema PPN di tahun 2025, yaitu tarif efektif 12 persen untuk barang-barang mewah dan tarif efektif 11 persen untuk barang-barang non-mewah.


PMK 131/2024 menegaskan, setiap pemungutan, penghitungan, dan penyetoran PPN atas barang dan jasa tertentu itu dilakukan sesuai dengan ketentuan regulasi yang sudah berlaku. Besaran pungutan PPN atas barang dan jasa khusus itu selama ini mengacu pada tarif PPN yang berlaku. 


Artinya, meski tidak termasuk barang mewah, barang dan jasa itu tetap akan mengalami kenaikan pungutan PPN karena adanya kenaikan tarif PPN yang berlaku dari 11 persen menjadi 12 persen. 


*Simpang Siur PPN 12%*


Drama simpang siur kebijakan PPN memunculkan berbagai kebingungan ditengah-tengah masyarakat. Buktinya hanya dalam satu bulan, pemerintah berubah pikiran hingga tiga kali mengenai kebijakan PPN. Konsekuensinya kini adalah kebingungan implementasi di lapangan. Akibat kebijakan yang berubah-ubah sejumlah pengusaha yang menjajakan barang/jasa nonmewah telanjur menaikkan harganya dengan mengacu pada tarif PPN 12 persen.


Penerapan yang keliru di lapangan itu pun memunculkan kerumitan dari segi administrasi pajak. Sebab, implikasinya mesti ada mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang telanjur dibayarkan oleh pembeli dan konsumen akhir. 


Berbagai kebingungan, kerumitan, dan kegaduhan yang terjadi semestinya bisa dicegah sejak jauh hari. Pemerintah semestinya melakukan kajian matang serta mendengarkan masukan publik yang sudah sejak lama meminta kenaikan PPN ditunda, bukan baru membelokkan kebijakan di waktu yang sangat singkat.


Negara nampak berusaha untuk cuci tangan dengan didukung media partisan. Hal ini terlihat dari pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati bahwa pemerintah memastikan paket kebijakan insentif dan stimulus tetap diberlakukan meskipun kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) naik menjadi 12 persen hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah.


Lebih lanjut, Sri Mulyani, menuturkan adanya paket kebijakan insentif dan stimulus yang diberikan pemerintah, antara lain pajak penjualan rumah seharga Rp2 miliar akan ditanggung 100 persen oleh pemerintah, insentif PPN untuk kendaraan hybrid dan kendaraan listrik.


Kemudian pelaku UMKM dengan omzet di bawah Rp 500 juta per tahun tidak perlu membayar PPh. Selain itu, Sri Mulyani juga menyebut insentif lainnya yakni diskon listrik 50 persen untuk pelanggan dibawah 2.200 VA.


Dengan menyebutkan berbagai kebijakan insentif dan stimulus pemerintah mengklaim bahwa program bantuan tersebut untuk meringankan hidup rakyat.


Negara memaksakan kebijakan dengan membuat narasi seolah berpihak kepada rakyat, namun sejatinya abai terhadap penderitaan rakyat. Padahal sudah maklum diketahui kenaikan pajak pasti akan membuat ekonomi rakyat tertekan dan rakyat akan menderita dengan pemungutan pajak yang nilainya semakin bertambah, ini membuktikan bahwa pemerintah abai terhadap penderitaan rakyat dan Kebijakan ini semakin menguatkan profil penguasa yang  populis otoriter.


Inilah akibat dari diterapkannya sistem kapitalisme, dalam sistem kapitalisme pajak menjadi sumber pemasukan utama negara. Negara dalam sistem kapitalisme menyerahkan kekayaan SDA pada swasta lokal maupun asing dan hanya mendapat dividen yang sangat kecil. Untuk membiayai kebutuhan negara, pemerintah menggenjot penerimaan pajak. Rakyat dikejar-kejar pajak, bahkan nyaris semua aspek dalam kehidupan dipajaki. Ini dilakukan demi mencapai target penerimaan pajak yang terus naik setiap tahunnya. 


Miris, kekayaan alam milik rakyat diberikan pada swasta kapitalis, tetapi rakyat justru dipaksa membayar pajak dalam jumlah besar.


Akibatnya, kehidupan rakyat makin sulit. Sedangkan para pengusaha kapitalis makin kaya raya. Gap pendapatan antara orang-orang kaya dengan rakyat miskin makin besar. Miris, inilah gambaran penerapan pajak dalam sistem kapitalisme yang menyengsarakan rakyat. Negara berposisi sebagai pemalak yang membebani rakyat dengan aneka pajak. Ini tidak lepas dari posisi penguasa dalam kapitalisme yang berposisi sebagai regulator. Ini sungguh berbeda dengan pengaturan dalam sistem Islam.


*Sistem Ekonomi Islam Menyejahterakan*


Di dalam sistem Islam, penguasa berposisi sebagai ra’in (pengurus) terhadap urusan rakyat. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah saw “Imam adalah ra’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).


Dalam sistem Islam ada salah satu pemasukan negara yang disebut pajak (dharibah), tetapi penerapannya jauh berbeda dengan pajak dalam kapitalisme.


Pajak di dalam sistem Islam hanya dipungut ketika kas negara kosong, sedangkan pada saat yang sama ada kebutuhan rakyat yang harus dipenuhi. Pajak tidak boleh dipungut ketika di baitulmal ada harta. Kebutuhan yang dipenuhi dengan memungut zakat adalah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi, akan menyebabkan terjadinya dharar, sedangkan dharar harus dihilangkan. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh ada bahaya (dharar) dan saling membahayakan.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad). 


Pajak tidak dipungut terus-menerus atau tahunan. Ketika kebutuhan dana sudah tercukupi, pemungutan pajak dihentikan. Selain itu, pajak di dalam sistem Islam hanya dipungut dari laki-laki muslim kaya saja, sedangkan perempuan, anak-anak, orang miskin, dan nonmuslim tidak dipungut pajak. Dengan demikian, pemungutan pajak di dalam sistem Islam tidak akan menimbulkan kezaliman.


Alhasil, umat dan bangsa ini harus benar-benar kembali pada syariat Islam dalam semua aspek kehidupan. Termasuk dalam mengelola perekonomian, di antaranya dalam pengelolaan APBN-nya. Selain karena kewajiban dari Allah Swt dan Rasul-Nya,  menegakkan sistem Islam bukanlah utopia. 


Sejarah mencatat bagaimana Khilafah Islam selama lebih dari 13 abad berhasil menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya tanpa memalak mereka dengan aneka pajak yang menyengsarakan.


Oleh karenanya, wahai kaum muslim, jika syariat Islam diterapkan sempurna dalam bingkai Kepimpinan islam, rakyat tidak akan terbebani lagi oleh pajak. Kehidupan rakyat akan sejahtera karena penguasanya menjadikan rakyat sebagai “tuan” yang harus terpenuhi seluruh kebutuhannya.


Allahu A'lam Bissawab.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak