Efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintahan Prabowo menuai kritik dan menyebabkan keributan di ruang publik. Pasalnya, efisiensi tersebut diduga turut memangkas layanan publik. #Fokus #KebijakanPublik 


--

Ribut-Ribut Efisiensi Anggaran, Layanan Publik Dikorbankan.

Kegelisahan sebagian masyarakat mulai menyeruak menyusul kebijakan efisiensi anggaran pemerintahan Prabowo Subianto. Kegelisahan tersebut tampak dari poster-poster yang beredar saat aksi mahasiswa bertajuk “Indonesia Gelap”, seperti “100 Hari yang Paling Mematikan”, ” Yang Makan Anak-Anak, Yang Gemuk Kabinet Pemerintahnya”, dan “Program Prioritas Rakyat Tertindas”. Kalimat-kalimat dalam poster tersebut tampaknya cukup mewakili suara hati rakyat terhadap kebijakan pemerintah yang memangkas anggaran sejumlah kementerian/lembaga.

Presiden menargetkan efisiensi anggaran hingga 44 miliar dolar AS atau setara Rp750 triliun pada tahun pertama kepemimpinannya. Rencana tersebut ia umumkan saat berpidato di acara HUT Ke-17 Partai Gerindra di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Sabtu (15-2-2025).

Efisiensi anggaran dilakukan dalam rangka memenuhi program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan diinvestasikan ke Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara). BPI Danantara adalah lembaga superholding BUMN yang baru saja dibentuk Presiden.

Dalam paparannya, Presiden menyebut bahwa efisiensi anggaran akan dilakukan dalam tiga putaran. Putaran pertama adalah penghematan dari pos Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) sebesar Rp300 triliun. Putaran kedua berasal dari hasil pemangkasan anggaran di seluruh K/L yang baru selesai dilakukan per 14 Februari 2025 sesuai Instruksi Presiden 1/2025. Efisiensi anggaran tersebut awalnya ditargetkan Rp306,7 triliun, tetapi bertambah menjadi Rp308 triliun. Putaran ketiga berasal dari tambahan penerimaan dividen BUMN yang ditargetkan mencapai Rp300 triliun pada 2025. Dari jumlah tersebut, Rp100 triliun bakal dikembalikan lagi ke BUMN dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN).

Layanan Publik Dikorbankan

Efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintahan Prabowo menuai kritik dan menyebabkan keributan di ruang publik. Pasalnya, efisiensi tersebut diduga turut memangkas layanan publik. Semisal pemangkasan anggaran yang dihadapi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kepala BRIN Tri Handoko mengatakan, lembaganya harus menghapus seluruh anggaran riset dan inovasi di 12 organisasi riset. Menurut pengamat pendidikan Ubaid Matraji, pemangkasan anggaran riset menunjukkan bahwa pemerintah tidak menganggap penting bidang riset. Sedangkan riset adalah tulang punggung kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi yang dibutuhkan untuk memecahkan berbagai masalah negara.

Pemangkasan lainnya di Kemendiktisaintek ialah anggaran untuk Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang menyusut dari Rp14,69 triliun menjadi hanya Rp1,31 triliun. Menurut keterangan Mendiktisaintek, Satryo Soemantri Brodjonegoro, KIP seharusnya tidak terkena efisiensi karena program tersebut bersifat esensial. Biaya kuliah juga berpotensi naik lantaran efisiensi anggaran pendidikan.

Contoh lainnya adalah pemangkasan anggaran pada Kementerian PU. Pagu awal anggaran Kementerian PU pada 2025 adalah Rp110,95 triliun. Setelah dipangkas sebanyak Rp81 triliun menjadi Rp29,57 triliun. Pemangkasan tersebut akan berdampak pada penghentian proyek-proyek infrastruktur vital, seperti jalan rusak akan terus dibiarkan begitu saja tanpa ada perbaikan dengan alasan efisiensi.

Dampak lainnya dari efisiensi anggaran ialah meningkatnya angka PHK, seperti Lembaga Penyiaran Publik RRI dan TVRI yang memilih memangkas anggaran dengan merumahkan pegawainya. Beberapa waktu lalu sempat viral jalanan di pusat kota Jember menjadi kumuh lantaran sampah-sampah berserakan tanpa ada yang mengangkutnya. Diketahui, tenaga honorer yang biasa membersihkan sampah-sampah tersebut banyak dirumahkan dengan alasan yang sama, yaitu efisiensi.

Sejatinya efisiensi anggaran tidak sepenuhnya buruk. Akan tetapi, jika pemangkasan anggaran dilakukan secara sembrono tanpa berbasis data dan kajian yang akurat, hal tersebut akan menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri. Layanan publik terbengkalai, proyek vital seperti sarana publik yang semestinya diperbaiki menjadi terhenti, rakyat terhambat mencari nafkah karena bayang-bayang PHK, dan masih banyak masalah baru lainnya yang perlu diantisipasi oleh pemerintah.

Jangan karena ambisi mewujudkan program MBG, semua hal dikorbankan. Anak-anak dapat makan gratis, orang tua malah terkena PHK, bukankah ini lebih miris? Jangan sampai terjadi kondisi demikian. Apalah guna MBG jika pemenuhan kebutuhan pokok selain makan terancam akibat PHK massal.

Meski tujuannya untuk mengurangi angka kekurangan gizi dan meringankan beban ekonomi keluarga miskin, jika pelaksanaannya semrawut, program yang awalnya diharapkan menjadi solusi justru berbuah masalah baru. Sejak program ini digagas hingga dijalankan, sudah banyak celah dan kekurangannya. Sebagai contoh, kasus keracunan massal akibat makanan yang didistribusikan mengindikasikan buruknya kontrol kualitas makanan. Belum lagi keluhan dari UMKM penyedia makanan yang belum menerima pembayaran tepat waktu. Terbaru, mulai Senin (17-2-2025) ribuan siswa di Sumenep, Jawa Timur tidak lagi mendapat MBG karena program dihentikan. Belum diketahui secara pasti alasan penghentiannya.

Keseriusan pemerintah patut dipertanyakan karena berbagai masalah yang muncul dalam program MBG belum terurai. Mestinya, program semacam ini dirancang berbasis data yang akurat, bukan sekadar mengumbar janji kampanye politik. Namun, yang terjadi  justru pendistribusian MBG terkesan serampangan tanpa pertimbangan berbasis data.

Setelah mendapat kritik publik, pemerintah kembali melakukan rekonstruksi anggaran dengan memangkas anggaran di beberapa kementerian yang awalnya tidak terkena efisiensi, semisal Kementerian Pertahanan, Polri, Badan Gizi Nasional, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), PPATK, KPK, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan MPR. Dengan pemangkasan ini, bagaimana kelak kinerja lembaga yang bekerja dalam menegakkan hukum atau mengusut kasus-kasus korupsi dan penggelapan uang seperti Kejagung, KPK, BPK, dan PPATK? Jangan sampai karena alasan efisiensi anggaran, kasus-kasus korupsi dan kejahatan lainnya menguap begitu saja.

Prinsip Pelayanan dalam Islam

Kepemimpinan sekuler kapitalisme menjadikan penguasa tidak menjalankan tugas, pokok, dan fungsinya dengan baik. Para penguasa, pemimpin, dan pejabat yang terpilih dalam politik demokrasi akan selalu berada dalam lingkaran konflik kepentingan, baik individu, golongan, ataupun partai. Pada akhirnya, kebijakan yang dimaksudkan untuk rakyat tidak sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Contoh yang paling tampak ialah sektor pendidikan dan kesehatan yang seharusnya menjadi program prioritas malah hanya menjadi program pendukung. Sementara itu, MBG justru menjadi program prioritas pemerintah.

Rakyat tidak hanya butuh kenyang dan makan, tetapi juga membutuhkan layanan pendidikan dan kesehatan yang dapat menunjang peningkatan kualitas SDM di negeri ini. Oleh karenanya, Islam memandang penguasa tidak sekadar pemimpin yang dipilih dalam kotak suara. Akan tetapi, penguasa adalah raa‘in, yakni pengurus dan pelayan kepentingan rakyat. Dalam pandangan Islam, pemenuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan adalah kebutuhan asasi sehingga program prioritas adalah negara menjamin pelayanan pada enam kebutuhan pokok tersebut.

Dalam kitab Syakhshiyah Islamiyah Jilid 2 hlm. 158, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menjelaskan bahwa tanggung jawab penguasa yang berkaitan dengan hal-hal yang wajib dipenuhi dalam dirinya sendiri sebagai penguasa tampak jelas dalam hadis-hadis yang dijelaskan Rasul saw. mengenai sebagian sifat-sifat penguasa. Di antaranya yang paling menonjol adalah kekuatan, ketakwaan, kelemahlembutan terhadap rakyat, dan tidak menimbulkan antipati. Rasul memandang bahwa penguasa haruslah seorang yang kuat sehingga seorang yang lemah tidak layak untuk menjadi penguasa.

Yang dimaksud dengan kekuatan di sini adalah kekuatan kepribadian (syakhshiyah), yakni kekuatan akal (akliah) dan jiwa (nafsiah). Akalnya haruslah akal seorang penguasa yang mengetahui berbagai hal dan berbagai bentuk hubungan. Jiwanya haruslah jiwa seorang penguasa yang mengetahui bahwa dirinya adalah pemimpin dan mengarahkan kecenderungannya sebagaimana seorang pemimpin. Karena di dalam kekuatan kepribadian terdapat potensi bagi timbulnya hegemoni dan tirani, penguasa harus memiliki sebuah sifat yang melindunginya dari kejahatan tirani. Ia harus memiliki sifat takwa dalam dirinya sendiri dan dalam kepemimpinannya terhadap umat.

Prinsip kedaulatan di tangan syarak menjadikan penguasa harus tunduk pada hukum syarak, tidak berpihak pada pihak lain yang ingin mendapat keuntungan. Penguasa harus terikat dengan hukum-hukum yang telah Allah Swt. tetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasul-Nya.

Dalam Islam, sumber anggaran banyak dan beragam, tidak hanya bergantung pada utang dan pajak. Pengelolaan anggaran dalam negara Khilafah dilakukan oleh baitulmal. Sumber pemasukan tetap baitulmal terdiri dari fai, ganimah, anfal, kharaj, jizyah, dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang, serta harta zakat (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab Nizham al-Iqtishadiy fi al-Islam hlm. 530).

Merujuk kitab An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam hlm. 534 yang ditulis oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, pengeluaran atau penggunaan harta baitulmal ditetapkan berdasarkan enam kaidah. Kaidah tersebut didasarkan pada kategori tata cara pengelolaan harta.


Pertama, harta yang mempunyai kas khusus dalam baitulmal, yaitu harta zakat. Harta tersebut adalah hak delapan golongan penerima zakat yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Apabila harta tersebut tidak ada, hak kepemilikan terhadap harta tersebut oleh para mustahik tadi gugur.

Kedua, harta yang diberikan baitulmal untuk menanggulangi terjadinya kekurangan, serta untuk melaksanakan kewajiban jihad. Misalnya, nafkah untuk para fakir miskin dan ibnu sabil, serta untuk keperluan jihad. Untuk semua keperluan ini, penafkahannya tidak didasarkan pada ada-tidaknya harta tersebut di baitulmal, hak tersebut bersifat tetap, baik ketika harta itu ada maupun tidak ada.

Ketiga, mengenai harta yang diberikan baitulmal sebagai suatu pengganti atau kompensasi (badal/ujrah). Yaitu harta yang menjadi hak orang-orang yang telah berjasa, seperti gaji tentara, pegawai negeri, hakim, tenaga edukatif, dan sebagainya. Sumber pemasukannya berasal dari harta fai, jizyah, kharaj, ‘usyur dan khumus, pengelolaan barang tambang, minyak bumi, dan sebagainya.

Keempat, harta yang bukan sebagai pengganti atau kompensasi, tetapi dibutuhkan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan secara umum. Misalnya, sarana jalan, air, bangunan masjid, sekolah, rumah sakit, dan sarana lainnya yang dianggap urgen (penting atau mendesak). Disebut urgen karena umat akan mengalami penderitaan atau mudarat jika sarana-sarana itu tidak ada. Penafkahan baitulmal untuk keperluan ini juga tidak didasarkan pada ada-tidaknya harta. Sumber pemasukannya berasal dari pengelolaan harta milik umum, seperti barang tambang, minyak bumi, dan sebagainya.

Kelima, pemberian harta untuk kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai pengganti atau kompensasi, dan juga tidak bersifat urgen. Misalnya, pembuatan jalan alternatif setelah ada jalan yang lain, membuka rumah sakit baru, sedangkan keberadaan rumah sakit yang lama telah cukup memadai, dan sebagainya. Penafkahan negara untuk keperluan ini ditentukan oleh ketersediaan harta dalam baitulmal. Apabila tidak tersedia, penafkahan tersebut menjadi gugur dan kaum muslim tidak wajib membayar untuk keperluan ini.

Keenam, harta yang disalurkan baitulmal karena unsur kedaruratan, seperti paceklik, kelaparan, bencana alam, serangan musuh, dan sebagainya. Untuk kondisi ini, ada-tidaknya harta di baitulmal tidak menggugurkan ataupun menangguhkan penafkahannya. Jika pemasukan baitulmal kosong, kewajiban penafkahannya menjadi tanggung jawab kaum muslim yang memiliki kelebihan harta dan mampu menyisihkan sebagian hartanya hingga seluruh kebutuhan atas kondisi tersebut terpenuhi. Demikianlah tugas dan tanggung jawab penguasa dalam Islam. Mereka harus menjadi pemimpin yang mengayomi, mengurusi, dan melayani hanya untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Tidak ada tujuan lain dari hal itu. Semua tanggung jawab tersebut kelak akan dihisab di hadapan Allah Taala sehingga penguasa dalam sistem Islam kafah akan menjalankan tugasnya dengan amanah dan adil.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak