Zion*s Makin Brutal, Mari Bersatu Muslim.!!
#Fokus
#Internasional
Oleh ; Mial, A.Md.T (Aktivis Muslimah)
Di tengah perayaan Idulfitri kemarin, yang seharusnya diliputi sukacita, Palestina masih bergulat dengan dentuman bom dan bertaruh nyawa. Gempuran Zion*s ke wilayah Palestina terus terjadi. Kementerian Kesehatan di Gaza mengatakan ada 80 orang di Palestina yang tewas sejak 31 Maret 2025. Puluhan korban meninggal itu tersebar di seluruh wilayah Palestina.
Sejak 18 Maret lalu, Zion*s kembali menyerang Palestina secara brutal. Serangan tersebut terjadi setelah masa gencatan senjata dengan Hamas berakhir dan menyebabkan 900 orang meninggal di Gaza. Tercatat ada 50.357 orang di Palestina tewas akibat serangan militer Zion*s sejak 7 Oktober 2023.
Brutal dan Bebal
Serangan Zion*s saat momen hari raya Idulfitri makin menegaskan bahwa mereka tidak mengenal bahasa diplomasi, gencatan senjata, dan diskusi. Nahas, di tengah perayaan Idulfitri ini, umat Islam hanya bisa menonton dan menyaksikan pembantaian dan genosida yang terjadi pada saudara kita di Palestina tanpa kekuatan, persatuan, dan ikatan hakiki akidah Islam. Kebrutalan Zion*s seharusnya sudah cukup menyadarkan umat Islam bahwa masalah Palestina bukan sekadar perebutan tanah, tetapi penjajahan dan perampasan yang nyata di hadapan dua miliar penduduk muslim di dunia.
Negeri sekecil itu harus bertarung sendiri melawan penjajahan Zion*s yang didukung penuh AS. Kebebalan Zion*s juga seharusnya membuat kita sadar bahwa yang dibutuhkan kaum muslim di Palestina bukan sekadar retorika empati atau bantuan kemanusiaan. Yang mereka butuhkan adalah keberanian para penguasa muslim memobilisasi pasukan militer untuk memerangi Zion*s, musuh bersama umat Islam sedunia. Namun, faktanya misi militer dan kemanusiaan tersebut terhalang oleh tembok dan batas teritorial bernama nation state.
Penghalang Persatuan
Nation state (negara bangsa) telah mengubah wajah dunia Islam tanpa ukhuah Islamiah dan ikatan akidah Islam. Ini bermula dari perjanjian rahasia yang disepakati oleh Inggris dan Prancis pada 1916. Selama Perang Dunia I, terbentuklah dua aliansi, yakni Poros dan Sekutu. Saat itu Daulah Khilafah terseret dalam Aliansi Poros yang diprakarsai oleh Jerman, Austria, dan Hungaria. Sementara itu, blok Sekutu terdiri dari Inggris, Prancis, dan Rusia.
Dalam perjanjian Sykes-Picot, Inggris dan Prancis sepakat untuk membagi wilayah tersebut menjadi zona pengaruh mereka masing-masing tanpa memperhitungkan aspirasi umat Islam di sana. Kekalahan Aliansi Poros pada Perang Dunia I membuat Khilafah makin terpojok dan membuka peluang bagi Inggris dan Prancis untuk memperbesar pengaruh mereka hingga Timur Tengah serta memperlemah Daulah Khilafah dengan berbagai konspirasi. Salah satunya ialah mengembuskan nasionalisme di kalangan bangsa Arab dan Turki agar terpecah belah dan memisahkan diri dari negara Khilafah.
Setelah Perang Dunia I berakhir dan Khilafah berhasil diruntuhkan, kaum muslim terombang-ambing, negeri-negeri muslim tidak lagi memiliki pelindung dan perisai yang mampu menjaga negeri mereka dari penjajahan. Setelah itu tercetuslah Deklarasi Balfour, yaitu pernyataan publik dari pemerintah Inggris yang mendukung pendirian “rumah nasional bagi bangsa Yahudi” di tanah Palestina yang saat itu masih menjadi wilayah kekuasaan Daulah Khilafah dengan jumlah penduduk Yahudi yang menjadi minoritas. Kondisi ini makin parah setelah PBB mengeluarkan deklarasi 14 Mei 1948 yang menyatakan pendirian negara Zion*s di atas tanah Palestina.
Dari deklarasi inilah pendudukan dan perampasan tanah milik kaum muslim terus berlangsung, dilegalisasi dengan deklarasi PBB, disaksikan banyak negara, dan diamini sekutu Zion*s yang tidak lain adalah Barat dan AS. Sampai detik ini Palestina masih terjajah, sedangkan kaum muslim lemah dan penguasa muslim dilemahkan oleh kepentingan politik dan sekat negara bangsa. Ikatan akidah Islam yang menegaskan bahwa setiap muslim bersaudara dan merasakan sakit yang sama jika salah satu anggota tubuhnya tersakiti, telah terkikis oleh kepentingan nasional masing-masing.
Hadirnya negara Zion*s yang diinisiasi Inggris, didukung AS, dan dilegalisasi PBB telah menjadi poros masalah Palestina dan Timur Tengah yang menyebabkan ketakstabilan. Palestina adalah jantung dunia Islam serta barometer kondisi umat Islam. Jika Palestina terpuruk, negeri-negeri muslim juga dalam kondisi yang sama. Ketika kaum muslim Palestina terjajah, kaum muslim di belahan bumi lainnya juga bernasib sama, yaitu terkungkung dalam penjajahan, baik secara fisik maupun ideologi.
Hal ini sudah ditegaskan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir hlm. 135 bahwa, “Empat faktor, yaitu Islam, minyak, tempat strategis, dan Zion*s cukup menjadikan masalah Timur Tengah menjadi masalah yang paling berbahaya dan paling kompleks. Masalah Timur Tengah adalah masalah yang teramat rumit untuk dapat diselesaikan dan masalah yang teramat besar untuk dapat diselesaikan oleh sebuah negara besar. Tidak ada negara adidaya yang mampu mengatasinya. Masalah Timur Tengah ini tidak akan pernah dapat diselesaikan kecuali dengan berdirinya negara Khilafah Islam.”
Selain itu, media sosial yang dikuasai musuh Islam menjadikan penyebaran opini Islam dan kondisi muslim Palestina menjadi sangat terbatas. Sudah banyak akun-akun yang mendukung Palestina diblokir dan dihilangkan oleh pemilik media pendukung Zion*s. Oleh karena itu, dibutuhkan penyebaran opini secara masif agar solusi hakiki Palestina dapat tersebar luas. Harus kita pahami bersama bahwa solusi hakiki Palestina bukan basa basi politik atau narasi kecaman, tetapi memerangi musuh Islam dan membebaskan Palestina dari penjajahan dengan jihad fi sabilillah yang dikomandoi seorang khalifah bagi kaum muslim.
Khilafah Solusi Tunggal
Di bawah perlindungan Khilafah, selama ratusan tahun Palestina terjaga dari rongrongan orang-orang kafir. Khilafah adalah perisai dan rumah berlindung umat dari ancaman penjajahan, perampasan, kezaliman, dan berbagai konspirasi yang dilakukan orang-orang kafir.
Kita tentu merindukan sosok seperti Sultan Abdul Hamid II yang begitu gigih dan tegas menolak tawaran Theodor Herzl, penggagas gerakan Zion*s sekaligus pendiri negara Yahudi. Pada 1896 ia memberanikan diri menemui Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan gedung di Al-Quds. Permohonan itu dijawab Sultan dengan penolakan. “Sesungguhnya negara Khilafah ini adalah milik rakyat. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Oleh sebab itu, simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri,” jawab Sultan.
Tidak menyerah, pada 1901 Herzl kembali menawarkan bantuan keuangan untuk negara Khilafah Utsmani agar sang khalifah menyetujui permintaannya membangun komunitas Yahudi di tanah Palestina. Namun, Sultan Abdul Hamid II menolaknya dengan tegas melalui pernyataannya yang ditujukan kepada Herzl, “Sampaikan kepada teman Anda dan nasihatilah dia agar tidak berusaha untuk main-main dalam hal itu selamanya. Aku tidak akan menjual bagian dari negeri tersebut walau satu telapak kaki pun karena negeri itu bukan milikku, tetapi milik rakyatku. Rakyatku telah sampai ke negeri itu dengan mengucurkan darahnya dan mereka pun akan kembali menumpahkan darahnya esok hari. Pada masa depan kami tidak akan pernah membiarkan seorang pun untuk merampasnya dari kami. Adapun jika negara Khilafah telah runtuh dan telah sempurna tercerai berai, Yahudi akan sampai ke Palestina secara gratis. Kami tidak akan pernah membagi-bagikan negara ini kecuali kepada anak cucu kami dan aku tidak akan pernah menerima penjelasan apa pun untuk tujuan tersebut.”
Ketiadaaan Khilafah membuat negeri-negeri muslim terjajah dan terisolasi. Oleh karenanya, penegakan Khilafah sebagai solusi atas Palestina dan negeri muslim lainnya adalah perkara mendesak dan penting. Tegaknya Khilafah harus terus diperjuangkan dan diserukan hingga kaum muslim memiliki kesadaran menjadikan Islam sebagai aturan bernegara. Umat harus memiliki kesadaran politik bahwa nasib Islam dan kaum muslim tidak akan mulia dengan ikatan kebangsaan. Kemuliaan dan kehormatan Islam dan kaum muslim hanya akan terwujud dalam ikatan akidah Islam serta penyatuan negeri-negeri muslim dalam naungan Khilafah.
Oleh karena itu, untuk membentuk kesadaran politik secara kolektif membutuhkan perjuangan kelompok dakwah ideologis yang konsisten menyampaikan kebenaran Islam, membongkar makar kafir penjajah, dan menyuarakan bahwa solusi hakiki bagi Palestina adalah tegaknya Khilafah Islamiah yang mampu melindungi negeri-negeri Islam dari kezaliman dan penjajahan. Kelompok dakwah ini senantiasa melakukan pembinaan intensif kepada umat untuk membersihkan pemikiran-pemikiran kufur yang menjauhkan umat dari Islam. Mereka bekerja bersama umat untuk mewujudkan kembali Daulah Islam (Khilafah) sebagaimana yang pernah didirikan oleh Rasulullah ﷺ di Madinah.
Wallahualam Bishowab
Komentar
Posting Komentar