PENDIDIKAN GENERASI ADALAH HAK DASAR SYAR'I & TANGGUNG JAWAB NEGARA
#Pendidikan
#OpiniIslam
Anggaran pendidikan memang 20% dari APBN, tetapi realitasnya hanya sedikit yang benar-benar digunakan untuk membiayai pendidikan rakyat. Itupun tidak semuanya mengalir ke Kementerian Pendidikan, tetapi juga kementerian lain yang menyelenggarakan pendidikan.
Banyak Sekolah Rusak, Negara Lambat Bertindak
Kondisi sekolah pada era 1960-an. Namun, siapa sangka, hingga saat ini masih ada sekolah dengan kondisi yang demikian miris seperti digambarkan dalam buku tersebut.
Ini seperti yang terjadi di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 408 Ongkoe, Kecamatan Belawa, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Kondisinya sungguh memprihatinkan. Lantainya dari tanah dan dindingnya yang sedikit lebih tinggi dari orang dewasa terbuat dari papan seadanya dengan banyak lubang. Karena ketiadaan ruangan lain, seluruh siswa kelas 1—6 digabung dalam satu ruangan berukuran 4×6 m2.
Kondisi sekolah lain juga memprihatinkan. Ruang kelas SDN Togasa, Galela Utara, Halmahera Utara, Maluku Utara hanya memiliki beberapa meja yang sudah rapuh, sedangkan kursi yang ada sudah tidak layak dipakai. Lantai kelas terbuat dari semen dan sudah rusak sehingga tampak kumuh dan tidak nyaman. Kekurangan fasilitas itu sudah berlangsung lama dan kepala sekolah sudah mengajukan permintaan bantuan ke Dinas Pendidikan setempat. Namun, tidak kunjung ada bantuan sehingga para siswa terpaksa belajar menggunakan satu meja untuk empat anak.
Kerusakan sekolah tidak hanya terjadi di luar Jawa. Di Jawa Barat, SD Tahfidz Al-Qur’an Masyuriyah di Kampung Sukasari, Desa Ciranjang, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur terpaksa menyewa enam rumah petakan sebagai ruang kelas. Kondisi ruangan sempit dan rawan banjir. Tiap bulan pihak sekolah harus mengeluarkan dana Rp2.400.000 untuk sewa ruangan.
Kerusakan ruang kelas tidak hanya dialami satu atau dua sekolah, tetapi banyak sekolah. Di Pandeglang, Jawa Barat ada sekitar 30% sekolah rusak. Wakil Bupati Pandeglang Iing Andri Supriadi pada Kamis (15-5-2025) mengatakan bahwa jumlah sekolah di Pandeglang kurang lebih sekitar 1000 sekolah, kurang lebih 30%dari jumlah tersebut mengalami kerusakan. Salah satu sekolah di Pandeglang yang rusak adalah SDN Bojen 2, Kecamatan Sobang. Para siswa dari tiga kelas terpaksa belajar di teras sekolah karena tidak memiliki ruang kelas. Kondisi memprihatinkan ini sudah terjadi selama tiga tahun. Meski sudah sering mengajukan perbaikan, hingga kini tidak kunjung ada tindakan.
Sekolah rusak juga banyak terdapat di Jawa Tengah. Karena sudah lapuk dimakan rayap, atap SDN Sumur 2, Kecamatan Brangsong, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, roboh dan menimpa tiga ruang kelas. Siswa terpaksa belajar di ruang perpustakaan, musala sekolah, dan rumah kosong milik warga. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kendal Ferinando Rad Bonay mengungkapkan total ada 193 ruang kelas yang rusak di Kabupaten Kendal.
Miris, di tengah kerusakan sekolah yang demikian parah, dana perbaikannya justru dikorupsi. Di Kota Semarang, dana rehabilitasi dikorupsi oleh Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu dan suaminya, Alwin Basri yang juga anggota DPRD. Dana senilai Rp20 miliar itu dialihkan untuk proyek pengadaan meja dan kursi (mebel) yang kurang urgen. Sedangkan di Jember, Jawa Timur, 400 gedung sekolah yang rusak terancam tidak bisa diperbaiki pada tahun ini karena anggaran untuk renovasi sekolah bakal dihapus sebagai akibat efisiensi anggaran.
Tata Kelola Pendidikan ala Kapitalisme
Miris, banyak sekolah rusak dan tidak segera diperbaiki. Negara pun lambat dalam menyolusi sekolah rusak hingga kerusakan terjadi bertahun-tahun tanpa solusi. Selain itu, banyak juga sekolah yang tidak memiliki bangunan sehingga siswa belajar di tempat yang seadanya.
Kondisi ini mencerminkan kegagalan negara menyediakan fasilitas pendidikan yang layak, memadai, dan berkualitas. Sedangkan pendidikan adalah hak setiap warga negara dan berpengaruh besar terhadap masa depan bangsa.
Pasal 31 UUD 1945 berbunyi:
(1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Namun, ternyata Pasal 31 hanya berhenti pada tataran teori dan minus dalam aksi. Tidak semua anak mendapatkan layanan pendidikan yang layak karena negara tidak memerankan diri sebagai pihak yang membiayai pendidikan secara semestinya. Pendidikan tidak dianggap sebagai hak dasar warga negara yang harus dipenuhi oleh negara. Namun, pendidikan dipandang sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan. Jikapun negara menyediakan layanan pendidikan, sifatnya hanya sekadarnya, bukan pada level yang optimal. Akibatnya, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan juga ala kadarnya.
Kondisi ini terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme liberal yang melemahkan ekonomi dan membuat anggaran pendidikan minim. Tata kelola ekonomi ala kapitalisme menjadikan SDA Indonesia yang melimpah tidak bisa digunakan untuk membiayai pendidikan karena mayoritas SDA dikuasai swasta, bahkan asing.
Sedangkan APBN dibiayai dari pajak dan utang. Ini artinya, rakyat sendiri yang membiayai pendidikan melalui pajak yang mereka bayarkan. Sedangkan utang negara yang selangit bukannya menyejahterakan, tetapi malah menggerogoti APBN untuk pembayaran pokok cicilan dan bunganya. Total pembayaran bunga utang pada 2024 mencapai hampir Rp500 triliun (15% dari APBN). Model pengelolaan APBN ala kapitalisme yang bersandar pada utang membuat negara harus mengalokasikan anggaran besar untuk membayar bunga utang, padahal seharusnya dana itu bisa dialokasikan untuk pendidikan. Akibatnya, dana pendidikan menjadi minim.
Di atas kertas, anggaran pendidikan 20% dari APBN, tetapi realitasnya hanya sedikit yang benar-benar digunakan untuk membiayai pendidikan rakyat. Seperti kejadian di Kota Semarang, dana pendidikan digunakan untuk membeli mebel bagi pejabat, sedangkan para siswa tetap belajar di ruang kelas yang rusak. Fakta seperti ini banyak terjadi di lapangan. Demikianlah, anggaran pendidikan lebih banyak dinikmati pejabat, bukan rakyat.
Apalagi kenyataannya anggaran 20% itu tidak semuanya mengalir ke Kementerian Pendidikan (Dasar, Menengah, maupun Tinggi), tetapi harus dibagi untuk Kementerian Agama dan kementerian yang menyelenggarakan sekolah (Keuangan, Pertanian, Perindustrian, Sosial, ESDM, Perhubungan, Kesehatan, LHK, Kelautan dan Perikanan, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Pemuda dan Olahraga, dll.), serta Transfer ke Daerah (TKD). Akhirnya Kementerian Pendidikan hanya mendapatkan anggaran Rp98,9 triliun atau 15% dari total anggaran pendidikan sebesar Rp665 triliun pada 2024.
Hal ini diperparah dengan buruknya birokrasi akibat pelaksanaan otonomi daerah. Porsi terbanyak anggaran pendidikan adalah untuk Transfer ke Daerah (TKD) melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik, dan DAK non-fisik, yaitu mencapai Rp346,5 triliun (52%). Namun, ternyata di daerah, anggaran tersebut tidak benar-benar digunakan untuk pendidikan.
Terbukti berdasarkan data dari Kemendagri bahwa dari 34 provinsi hanya tiga provinsi yang menyiapkan anggaran 20% dari APBD. Sedangkan provinsi yang lainnya di bawah 20%, bahkan ada yang hanya mengalokasikan 3% dari APBD. Anggaran yang seharusnya untuk pendidikan malah digunakan untuk proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan, jembatan, dll. Bahkan, ada anggaran pendidikan 2024 yang dialokasikan untuk Dana Desa.
Sungguh miris, semua ini menunjukkan bahwa tata kelola ekonomi dan anggaran ala kapitalisme menyebabkan banyak sekolah rusak dan negara lambat menangani. Demikianlah, negara dalam kapitalisme cenderung lepas tangan dalam urusan pendidikan. Pendidikan diserahkan kepada pihak swasta. Akibatnya, banyak persoalan tidak tertangani, termasuk sekolah-sekolah rusak. Bahkan, perbaikan sekolah juga kerap menjadi ajang proyek para pejabat.
Sistem kapitalisme yang sekuler telah menjauhkan pengelolaan negara dari nilai agama sehingga rawan korupsi. Korupsi di sektor pendidikan yang selalu tinggi dan masuk lima besar kasus korupsi yang sering terjadi di Indonesia. Sistem sekuler kapitalisme juga menjadikan negara abai terhadap kewajiban penyelenggaraan pendidikan bagi rakyat. Ini sungguh berbeda dengan sistem Islam.
Tata Kelola Pendidikan dalam Islam
Di dalam Islam, pendidikan adalah hak dasar warga negara. Rasulullah saw. bersabda, “Mencari ilmu adalah fardu atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah). Negara wajib menyediakan pendidikan bagi rakyat secara optimal. Rasulullah saw. mencontohkan hal ini dengan menyediakan guru bagi kaum muslim. Ibnu Abbas ra. meriwayatkan, “Beberapa tawanan perang Badar ada yang memiliki uang untuk tebusan maka Rasulullah menjadikan tebusannya dengan mengajar anak-anak ansar.”
Para tawanan itu masing-masing mengajarkan baca tulis pada sepuluh anak-anak muslim sehingga dari situ lahirlah para penulis wahyu. Tebusan tawanan merupakan harta baitulmal, tetapi Rasulullah saw. mengalokasikannya untuk menyediakan pendidikan bagi rakyat. Anak-anak yang belajar baca tulis tersebut tidak dipungut biaya sedikit pun alias gratis.
Berdasarkan teladan dari Rasulullah saw. ini, sistem Islam (Khilafah) menjamin penuh semua kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menyebutkan dalam Muqaddimah ad-Dustur Pasal 179, “Negara menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya, di samping gedung gedung sekolah dan universitas untuk memberi kesempatan bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang pengetahuan, seperti fikih, usul fikih, hadis dan tafsir. Termasuk di bidang ilmu murni, kedokteran, teknik, kimia, dan penemuan-penemuan baru sehingga lahir di tengah-tengah umat sekelompok besar mujtahid dan para penemu.”
Dengan demikian, Khilafah Islam akan menyediakan gedung untuk ruang kelas dan semua hal yang dibutuhkan untuk kegiatan belajar mengajar di kelas, seperti meja, kursi, papan, alat peraga, ATK, dll. Negara juga menyediakan ruang lain yang dibutuhkan untuk mendukung pendidikan seperti masjid/musala, laboratorium, perpustakaan, ruang komputer, dll. berikut semua kelengkapannya.
Negara juga akan membangun infrastruktur untuk memudahkan para siswa bersekolah, seperti jalan dan jembatan. Khilafah juga menyediakan alat transportasi untuk mengangkut para siswa dari tempat tinggalnya menuju sekolah, misalnya kereta api, bus, trem, dll. Khilafah juga menyediakan asrama bagi siswa, lengkap dengan akomodasi berupa makanan, minuman, tempat tidur, aula, fasilitas olahraga, dll. Dana untuk penyediaan fasilitas pendidikan berasal dari baitulmal, khususnya pos kepemilikan umum serta fai dan kharaj.
Negara akan mengelola SDA (tambang, hutan, laut, sungai,dll.) secara mandiri, tidak menyerahkannya pada swasta, apalagi asing. Hasil dari pengelolaan ini akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk pendidikan. Dengan demikian, negara bisa menyediakan fasilitas pendidikan yang bagus tanpa memungut biaya satu dinar pun dari rakyat. Inilah yang senantiasa berlangsung sejak masa Rasulullah saw. hingga Khilafah Utsmaniyah.
Individu rakyat yang kaya dipersilahkan untuk memberikan wakaf untuk pendidikan, baik berupa gedung, laboratorium, atau yang lainnya. Salah satu contoh wakaf di bidang pendidikan adalah Universitas Al-Qarawiyyin di Fez, Maroko yang awalnya adalah masjid wakaf dari Fatimah al-Fihri. Ia juga mewakafkan perpustakaan. Berkat dukungan para khalifah, masjid tersebut bertransformasi menjadi madrasah dan selanjutnya menjadi universitas.
Jika ada kebutuhan yang urgen untuk infrastruktur pendidikan yang jika tidak dipenuhi akan menyebabkan mudarat, sedangkan di baitulmal sedang tidak ada dana, negara akan melakukan pemungutan pajak (dharibah) dari kaum muslim laki-laki dewasa yang kaya. Jika dana sudah mencukupi, pemungutan pajak akan dihentikan.
Negara harus sungguh-sungguh memelihara infrastruktur pendidikan, tidak boleh bersikap minimalis atau menyerahkan tanggung jawab kepada masyarakat dan swasta. Khilafah mampu menyediakan dana besar untuk menjaga kondisi sarana dan prasarana sekolah dalam kualitas terbaik. Hal ini terwujud karena Islam menetapkan negara sebagai raa’in (pengurus) yang memenuhi kebutuhan pokok rakyat, termasuk pendidikan.
Khilafah memiliki anggaran yang fleksibel. Maksudnya, perbaikan sarana pendidikan akan segera dilakukan tanpa menunggu pergantian tahun anggaran. Dengan demikian, perbaikan sarana prasarana pendidikan bisa dilakukan seketika saat dibutuhkan.
Demikianlah, Khilafah memperhatikan dan mendukung sektor pendidikan agar tujuan-tujuannya mudah tercapai dan rakyat merasa nyaman bersekolah. Negara menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas sebagai salah satu aspek yang memengaruhi keberhasilan pendidikan. Hasil akhirnya adalah terwujud peradaban Islam nan gemilang. Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar