Judi Online Makin Menggila, Anak-anak Jadi Korban! Solusi Sistemik dalam Perspektif Islam

#Opini

Oleh: Aisyah, S.E (Aktivis Dakwah)

Pernahkah kita bertanya: "Kok bisa judi online (judol) makin marak?" "Kenapa bandar judol sulit ditangkap?" "Kenapa negara kewalahan memblokir situs judol?" dan kebingungan lainnya?

Hingga kini, masalah ini selalu berkutat tanpa solusi tuntas. Mirisnya, kini anak-anak pun banyak yang terjerat.

Data kuartal I-2025 yang dikumpulkan oleh PPATK menunjukkan bahwa pemain berusia 10–16 tahun telah menyetor lebih dari Rp2,2 miliar. Usia 17–19 tahun mencapai Rp47,9 miliar, dan yang tertinggi usia 31–40 tahun dengan nilai mencapai Rp2,5 triliun. (CNBC, 8/5/2025)

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menggelar sosialisasi di SMAN 2 Purwakarta, Jawa Barat. Provinsi ini tercatat sebagai wilayah dengan jumlah transaksi dan pemain judi online tertinggi pada tahun 2024, mencapai nilai Rp3,8 triliun. PPATK mencatat lebih dari 535.000 pemain di wilayah ini. (Bisnis, 14/5/2025)

Dampak Judi Online

Judol, meski berbasis digital, sejatinya adalah judi juga. Dan seperti judi konvensional, ia merusak secara perlahan: menghancurkan keuangan, merusak mental, dan menghancurkan relasi sosial. Para pemain dibuat kecanduan. Mereka terus melakukan deposit karena sistem memang dirancang seperti itu.

Semua permainan judi, baik offline maupun online, memiliki house edge—keuntungan matematis yang selalu berpihak pada bandar.

Contoh: di permainan slot, dari 100 ribu yang dipasang pemain, rata-rata hanya 80 ribu yang kembali. Sisanya? Masuk ke kantong bandar. Bandar tidak berniat membuat pemain kaya, mereka hanya ingin pemain terus bermain dan kalah perlahan. Setiap aspek—warna tombol, suara, hingga pola permainan—dirancang untuk membuatmu kecanduan dan tetap kalah.

Parahnya, ketika kecanduan sudah akut, pemain bisa menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang untuk bermain: mulai dari pinjaman online, hingga mencuri. Anak-anak bahkan kini menjadi sasaran pasar judol. Dalam sistem kapitalisme, selama sesuatu menghasilkan uang, maka akan dimaksimalkan tanpa memandang moral dan dampak sosial.

Tampilan judol sengaja dibuat menarik: penuh warna, interaktif, dan mirip game populer agar anak-anak tertarik dan akhirnya kecanduan.

Ekosistem Kapitalistik & Skala Global

Judol bukan lagi bisnis lokal. Ini adalah industri global. Banyak bandar yang beroperasi di Indonesia justru dikendalikan dari luar negeri, terutama dari kawasan Mekong Region Countries seperti Tiongkok, Myanmar, Laos, dan Kamboja (Kadiv Hubinter Polri, 2024).

Negara tampak kewalahan meski sudah menerbitkan Keppres 21/2024 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring. Kenapa? Karena judol tak berdiri sendiri. Ia hidup subur dalam sistem kapitalisme yang menjadikan keuntungan sebagai asas, bukan moral atau agama.

Lalu, Solusinya Apa?

Karena persoalannya sistemik, maka solusinya pun harus sistemik. Islam memiliki seperangkat aturan yang sempurna dan bersumber dari wahyu. Ini bukan sekadar utopia, tetapi pernah diterapkan secara nyata dalam sejarah peradaban Islam.

1. Hukum Berdasarkan Syariat

Islam menetapkan hukum berdasarkan halal dan haram, bukan untung dan rugi. Dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 90–91, Allah Swt. berfirman bahwa judi adalah perbuatan setan dan wajib dijauhi karena akan menimbulkan permusuhan dan melalaikan manusia dari mengingat Allah.

Negara dalam sistem Islam wajib menutup semua celah yang bisa membawa rakyat pada aktivitas haram ini, termasuk judi online.

2. Kemandirian Digital dan Teknologi

Negara Islam wajib mandiri secara teknologi. Dalam sejarah, banyak ilmuwan muslim yang menjadi pelopor kemajuan sains. Maka, negara harus memfasilitasi kebangkitan industri teknologi sendiri agar dapat mengontrol arus digital, termasuk memblokir situs berbahaya seperti judol.

3. Ekonomi yang Adil dan Kuat

Sistem ekonomi Islam tidak bergantung pada pajak, tapi bersumber dari zakat, kharaj, fa’i, jizyah, dan kepemilikan umum seperti SDA. Dana ini dikelola oleh Baitul Mal untuk kesejahteraan rakyat, termasuk pembangunan sektor teknologi. Ketika negara kuat secara ekonomi, ia mampu menjaga kedaulatan digital dan sosial.

4. Pendidikan Islam yang Holistik

Negara wajib menyediakan pendidikan Islam secara menyeluruh dan gratis. Anak-anak dibina akalnya, spiritualnya, dan emosinya berdasarkan aqidah Islam. Mereka akan memahami sejak dini apa yang halal dan haram, serta menjadikan hukum syariat sebagai standar perbuatan.

5. Peran Keluarga: Pengawasan & Keteladanan

Orang tua adalah garda terdepan. Mereka wajib menjadi pendidik dan pengawas utama di rumah. Akidah yang kuat ditanamkan sejak kecil agar anak punya benteng dalam dirinya untuk menolak ajakan kepada keburukan.

6. Sanksi Tegas dan Menjerakan

Islam menetapkan sanksi tegas (takzir) bagi pelaku dan penyebar judi. Menurut Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam Nizham al-‘Uqubat fi al-Islam, kadar sanksi bisa berupa cambuk, penjara, bahkan hukuman mati, sesuai dengan beratnya kerusakan yang ditimbulkan. Tujuannya adalah mencegah kerusakan yang lebih besar di masyarakat.

Penutup: Saatnya Kembali ke Sistem Allah

Dengan langkah-langkah ini, generasi muda tidak akan mudah terjerat lagi dalam jerat judol. Aturan Allah sesuai dengan fitrah manusia dan diterima oleh akal.

“Inilah saatnya kita berhenti berharap pada solusi tambal sulam sistem buatan manusia. Saatnya kembali kepada sistem dari Allah—yang menyelamatkan individu, keluarga, hingga seluruh negeri. Ketika Islam diterapkan secara kaffah, bukan hanya judi yang sirna, tapi keberkahan pun akan menyelimuti seluruh penjuru negeri.”

Wallahu a’lam bishshawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak