Pulau Milik Aceh Dicaplok Sumut: Sengketa Biasa atau Skema Kapitalis?

 


Oleh: Yuli Atmonegoro 

(Aktivis Dakwah, Serdang Bedagai)


Isu pencaplokan empat pulau milik Aceh oleh Sumatera Utara bukan sekadar kisruh administratif atau salah tafsir geografis belaka. Ini adalah gejala dari penyakit lama: politik kapitalisme yang menindas dan membelah umat atas nama batas administratif buatan manusia. Kejadian ini harus dilihat lebih jauh dari sekadar peta, koordinat, atau keputusan pejabat daerah. Ini adalah hasil sistem rusak yang merobek persatuan umat Islam dan menjadikan wilayah sebagai komoditas kekuasaan.


Asal Usul Kekisruhan


Empat pulau — Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Tokong Ban — sebelumnya tercatat dalam wilayah administrasi Kabupaten Aceh Singkil, Aceh. Namun, kini keempatnya diklaim masuk dalam Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Dugaan ini diperkuat oleh pernyataan dan dokumen resmi Kementerian Dalam Negeri, yang menunjukkan adanya pergeseran batas wilayah.


Pertanyaannya, siapa yang menggeser? Atas dasar apa? Dan mengapa baru sekarang terungkap?


Ini bukan sekadar "kesalahan teknis". Ini adalah dampak logis dari sistem kapitalis-sekuler yang menjadikan wilayah, sumber daya, dan manusia sebagai alat transaksi kekuasaan. Dalam sistem ini, wilayah bukan milik umat, tetapi milik negara. Bukan untuk kemaslahatan, tapi untuk kepentingan politik dan ekonomi kelompok tertentu.


Politik Kapitalisme dan Pemekaran Wilayah


Di balik klaim wilayah, sering tersembunyi agenda politik yang lebih dalam: pemekaran wilayah demi akses anggaran dan kekuasaan lokal. Sistem desentralisasi yang dijajakan pasca reformasi bukan membawa kesejahteraan, melainkan membuka ladang konflik horisontal dan vertikal. Setiap daerah berlomba-lomba memperluas wilayah administrasinya, bukan karena kepentingan rakyat, tetapi karena semakin luas wilayah, semakin besar jatah dana dari pusat.


Dengan ini, kita bisa melihat adanya kemungkinan pihak-pihak yang diuntungkan:


1. Pemerintah Daerah yang Menerima Pulau

Dengan klaim terhadap empat pulau tersebut, Sumatera Utara, khususnya Kabupaten Tapanuli Tengah, berpotensi mendapatkan akses ekonomi yang lebih besar — termasuk hasil laut, potensi pariwisata, bahkan eksplorasi sumber daya mineral. Di dunia kapitalisme, wilayah adalah aset ekonomi.



2. Pemerintah Pusat dan Elite Politik

Kisruh ini membuka ruang tawar-menawar antara elite pusat dan daerah. Siapa yang patuh, diberi kue pembangunan. Siapa yang vokal, dibungkam dengan regulasi atau ancaman hukum. Sistem ini menciptakan "politik balas budi" yang jauh dari keadilan.



3. Perusahaan Swasta dan Investor

Di balik konflik administratif, bisa jadi terselubung rencana eksploitasi ekonomi. Tidak asing bagi kita bahwa pulau-pulau kecil sering dijual diam-diam kepada investor asing atau dijadikan zona eksklusif untuk pariwisata elite dan tambang.


Islam dan Solusi Ideologis


Dalam pandangan Islam, seluruh wilayah kaum Muslimin adalah milik umat, bukan milik negara-bangsa (nation-state). Islam tidak mengenal batas administratif buatan kolonial. Semua pulau, lautan, dan tanah adalah amanah dari Allah yang wajib dikelola secara adil dalam naungan satu kepemimpinan Islam, yakni Khilafah.


Khilafah tidak akan memecah wilayah atas dasar kepentingan politik lokal atau jatah anggaran pusat. Semua wilayah dikelola sebagai satu kesatuan umat. Kepemilikan umum — termasuk pulau dan laut — tidak boleh dijadikan alat tawar-menawar, diserahkan pada investor asing, atau dijual atas nama pembangunan.


Jika sistem Islam diterapkan, maka tidak akan ada konflik semacam ini. Tidak ada perebutan pulau karena tidak ada desentralisasi kekuasaan yang membentuk negara dalam negara. Semua diatur dengan satu visi: mengurus urusan umat dengan syariah, bukan mengatur umat demi kepentingan elite kapitalis.



Kisruh empat pulau ini adalah satu contoh kecil dari rusaknya sistem kapitalisme. Ia menunjukkan bahwa selama sistem kufur ini masih bercokol, umat Islam akan terus menjadi korban: tanah mereka direbut, sumber daya mereka dijual, dan persatuan mereka dirusak.


Saatnya umat kembali pada jalan Islam. Bukan sekadar mengkritik, tapi mengambil langkah politik ideologis. Bukan untuk menuntut pulau kembali dalam peta, tetapi untuk menumbangkan sistem sekuler dan membangun kembali Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Inilah satu-satunya jalan keluar yang hakiki.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak