SAVE RAJA AMPAT

Oleh : Wiwik Afrah, S.Pd (Aktivis Muslimah)

#SaveRajaEmpat

#Opini

Isu kerusakan lingkungan yang terjadi di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Pulau Gag, yang menjadi lokasi tambang nikel, diberitakan mengalami berbagai degradasi lingkungan, mulai dari penggundulan hutan hingga erosi tanah dan sedimentasi yang mengancam terumbu karang dan ekosistem laut Raja Ampat. Tagar #SaveRajaAmpat bertebaran di berbagai media sosial ketika lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan dan warganet beramai-ramai menuntut agar pemerintah Indonesia menghentikan aktivitas penambangan nikel di Pulau Gag. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyatakan bahwa ia akan mengunjungi kawasan Pulau Gag dan berjanji akan menindak secara hukum perusahaan tambang yang ditengarai telah menyebabkan kerusakan lingkungan tersebut. (Jakarta Post, 6-6-2025). Di sisi lain, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan akan menghentikan sementara penambangan di Pulau Gag. PT Gag Nikel, yang dimiliki oleh PT Aneka Tambang (Antam), merupakan salah satu perusahaan yang menjalankan usaha tambang di Pulau Gag tersebut dan satu-satunya yang telah aktif memproduksi bijih nikel.

Kasus terbaru ini menambah panjang kisruh lingkungan terkait penambangan nikel. Sebelumnya, tambang dan industri smelte rnikel di Morowali telah terlebih dahulu memicu kontroversi dengan berbagai kerusakan lingkungan yang disebabkan penambangan nikel dan aktivitas smelting nikel, termasuk banjir, longsor, dan pencemaran air. Demikian pula di Teluk Weda, Halmahera Tengah, industri nikel telah menyebabkan masuknya logam berat di rantai makanan dan peningkatan kadar merkuri dalam darah warga (Kompas, 27-5-2025). Seluruh kasus ini melibatkan tambang nikel. Nikel, sebagaimana besi, bersifat feromagnetik di temperatur ruang sehingga nikel dapat dibentuk menjadi magnet permanen. Selain itu, nikel bersifat tahan korosi, yang menyebabkan unsur ini menjadi unsur penting dalam industri logam. Secara global, Indonesia menjadi produsen nikel terbesar, mencapai 2,2 juta ton pada 2024 (USGS, 2025). Filipina, produsen terbesar kedua, memproduksi 300 ribu ton nikel. Cadangan nikel Indonesia juga merupakan yang terbesar di dunia dengan cadangan teridentifikasi sebesar 55 juta ton.

Dunia saat ini dikuasai ideologi kapitalisme. Secara harfiah, nyaris seluruh (kalau bukan seluruhnya) proses industri, termasuk penambangan, dijalankan berdasarkan prinsip kapitalisme. Hal ini meniscayakan beberapa aspek dalam proses industri penambangan. Pertama, tambang dikuasai oleh pemilik modal. Kapitalisme tidak memiliki kategorisasi jenis pemilikan sumber daya. Dalam kapitalisme, semua jenis kepemilikan adalah kepemilikan individu sehingga seluruh jenis tambang adalah potensial untuk dimiliki oleh individu. Negara hanya berperan sebagai regulator dan perusahaan yang dimiliki negara harus bersaing dengan posisi yang sama dengan perusahaan swasta. Kedua, orientasi utama kapitalisme adalah profit. Untuk menciptakan profit sebesar mungkin, perusahaan dapat menjual barang dengan harga setinggi mungkin atau menekan modal serendah mungkin. Namun, penjualan barang tambang dikendalikan oleh mekanisme pasar bebas sehingga industri tidak bisa semudah itu menjual barang dengan harga lebih tinggi daripada harga pasar. Tidak ada pasar yang mau membeli barang yang dijual lebih tinggi dari harga yang seharusnya, walau memang pasar dalam kapitalisme itu sendiri terdistorsi oleh permainan spekulan. Ketiga, kekuatan modal membuka peluang terjadinya kolusi antara pengusaha dan penguasa. Dalam hal ini, sudah menjadi rahasia umum bahwa pemodal dapat mendukung kandidat penguasa tertentu, baik di pusat maupun daerah, dengan imbalan konsesi maupun kontrak bisnis, termasuk bisnis pertambangan.  Keempat, ekonomi kapitalisme berorientasi pada pertumbuhan takhingga sebagai konsekuensi dari teori kelangkaan. Demi terciptanya pertumbuhan ekonomi tersebut, maka diperlukan produksi barang dalam jumlah besar. Produksi barang, terang saja, membutuhkan sumber daya alam dalam jumlah besar, baik terbarukan maupun tidak terbarukan. Akibatnya, eksploitasi dilakukan secara besar-besaran demi mengejar nilai pertumbuhan ekonomi tersebut, yang sayangnya, tidak memerhatikan aspek distribusi. Kelima, visi jangka pendek. Perusahaan-perusahaan kapitalis tidak memiliki visi jangka panjang terkait apa yang disebabkan oleh industrinya terhadap alam semesta. Visi utama mereka adalah keuntungan jangka pendek bagi perusahaan. Hal ini sudah terlihat jelas sejak awal revolusi industri, ketika energi fosil menjadi tulang punggung peradaban dalam dunia kapitalistik. Industri tambang kapitalis sama sekali tidak peduli terkait dampak lingkungan dari pembakaran energi fosil yang menyebabkan berbagai masalah lingkungan, mulai dari polusi udara, pemanasan global, hingga perubahan iklim, yang semua akan mengancam kehidupan manusia dan keberlanjutan planet dalam jangka panjang. Itulah sebabnya, sekalipun dalam jangka panjang akan merusak, mayoritas industri tambang cenderung tidak peduli. 

Din Islam diturunkan oleh Allah Swt. dengan aturan terkait hubungan antara manusia dan Allah, manusia dan manusia lain, serta manusia dan dirinya sendiri. Aspek pertambangan, secara umum, tercakup pada dimensi hubungan antara manusia dan manusia lainnya (muamalah). Pasalnya, industri pertambangan akan melibatkan interaksi antara lebih dari satu manusia, baik secara fundamental maupun praktis. Secara fundamental, hal ini bisa dipahami dari status sumber daya energi dan mineral yang ditambang dalam syariat Islam. Dalam hadis disebutkan, dari Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah ﷺ dan meminta beliau ﷺ agar memberikan tambang garam kepadanya. Nabi ﷺ pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika Abyad bin Hamal ra. telah pergi, ada seorang lelaki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah ﷺ mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).

Syekh Abdul Qadim Zallum dalam Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, menjelaskan bahwa hadis tersebut menjadi dalil bahwa barang tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum dan tidak boleh dimiliki individu. Walau hadis tersebut berbicara tentang tambang garam, tetapi secara praktis tidak terbatas hanya untuk tambang garam, melainkan untuk semua jenis barang tambang yang jumlahnya melimpah. Ini karena ilat yang disampaikan dalam hadis tersebut adalah “layaknya air yang mengalir” yang berarti berbicara masalah deposit. Walhasil, barang tambang apa pun yang jumlahnya melimpah, tidak boleh dimiliki oleh individu tertentu. Ini karena pemilikan secara individu akan menghalangi umat Islam lain dari mendapatkan haknya. Dengan demikian, tambang nikel adalah kepemilikan umum bagi umat Islam, tidak boleh dikaveling untuk individu maupun entitas perusahaan sebagaimana yang terjadi dalam kapitalisme.

Secara praktis, upaya penambangan sumber daya energi dan mineral tidak bisa semudah itu dilakukan individu. Diperlukan modal besar untuk bisa mengekstrak dan mengelola tambang secara optimal dengan memperhatikan berbagai aspek pengelolaan yang seharusnya.  Dalam hal ini, industri swasta dapat berperan sebagai ajir (pekerja) untuk mengerjakan proses penambangan, mulai dari front-end hingga back-end. Namun, mereka hanya diupah untuk melaksanakan proses penambangan, bukan sebagai pemilik. Industri swasta tidak punya hak sedikit pun terhadap barang tambang yang mereka ekstrak. Dengan mengembalikan hak milik pada umat dan mengalihkan pengelola pada negara, berbagai potensi kerusakan lingkungan yang terjadi dalam ideologi kapitalisme akibat motif ekonomi dapat ditekan sejak awal.

 Islam sama sekali tidak melarang pertambangan. Allah Swt. sesungguhnya telah menundukkan alam semesta untuk keperluan manusia, sebagaimana firman-Nya, “Allahlah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air (hujan) dari langit, kemudian dengan (air hujan) itu Dia mengeluarkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan kapal bagimu agar berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagimu. Dan Dia telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan malam dan siang bagimu.” (QS Ibrahim: 32—33).

Islam juga mengatur agar dalam pemanfaatannya terhadap alam semesta, manusia tidak menyebabkan kerusakan. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS Al A’raf: 56).Dengan demikian, manusia dapat memanfaatkan alam semesta, termasuk mengeksploitasi tambang sumber daya energi dan mineral, hingga batas berupa kapasitas lestari maksimum (maximum sustainable capacity). Kapasitas ini adalah batas maksimal manusia dapat mendisrupsi proses alamiah lingkungan yang dampaknya masih bisa ditanggulangi dengan bantuan manusia, sebagai contoh penghijauan ulang. Lebih dari itu, sebagian bentang alam akan mengalami kerusakan permanen yang dilarang oleh syarak. Agar tidak melebihi kapasitas lestari maksimum, pengelolaan limbah dan dampak lingkungan pada aspek back-end harus dimasukkan dalam proses industri secara integratif, walau hal tersebut berdampak pada berkurangnya profit.

Negara juga akan membagi zona wilayah menjadi setidak-tidaknya tiga, yakni zona penduduk, industri, dan konservasi. Zona industri dikhususkan untuk aktivitas industri, baik dari aspek penambangan (front-end), pengolahan (mid-end), hingga distribusi dan manajemen limbah (back-end). Zona konservasi dikhususkan untuk menjaga biodiversitas alam, dan tidak diotak-atik untuk keperluan penduduk maupun industri sekalipun ada potensi tambang di dalamnya. Dilihat dari kekayaan biodiversitasnya, dalam Islam, area Raja Ampat akan dijadikan zona konservasi alih-alih zona industri. Alhasil, tidak dibolehkan adanya aktivitas industri di zona tersebut, termasuk penambangan nikel, walaupun potensi ekonominya besar. Dengan demikian, Islam menjamin bahwa industri tambang dapat terus berjalan, tetapi juga dapat dirasakan manfaat produknya pada pemilik aslinya (umat Islam) dan dampak negatif terhadap lingkungan dapat diminimalkan.

Wallahu ‘alam bisshowab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak