IBU JUAL BAYI, đŸ˜“NALURI MATI AKIBAT SISTEM YANG TIDAK MANUSIAWI.
Oleh >> Mial, A.Md.T (Aktivis Muslimah)
Karena impitan ekonomi, seorang ibu di Medan menjual bayi yang baru dia lahirkan. Sang ibu SS (27) menjual bayinya melalui perantara MT (55) kepada YU (56) dan NJ (40) seharga Rp20 juta di Jalan Kuningan, Kecamatan Medan Area, Kota Medan, Sumatera Utara. (Tempo, Jumat; 16/08/2024).
Sungguh miris, impitan ekonomi telah membuat sebagian ibu kehilangan akal sehat dan naluri keibuannya. Mereka rela menjual bayi yang dikandungnya demi mendapatkan sejumlah uang, padahal bayi itu merupakan buah hati yang telah bersemayam di rahimnya selama sembilan bulan. Setelah lahir, bukannya dirawat dengan penuh kasih sayang, mereka justru menjual bayinya. Tidak ada rasa kasihan maupun kekhawatiran atas nasib bayi tak berdosa tersebut.
Kondisi ekonomi yang sulit menjadi alasan para ibu itu tega menjual bayinya. Umumnya mereka kesulitan ekonomi dan harus menghadapinya sendirian karena tidak ada sistem pendukung (supporting system) berupa keberadaan suami, keluarga, dan kerabat. Selain itu, tidak ada pula yang membantu perekonomian mereka sekaligus mencegahnya untuk berbuat nekat.
Miris, kasus ibu menjual bayi nyatanya tidak satu atau dua kali terjadi. Dari banyaknya kasus ibu menjual bayi, tampak bahwa penyebabnya bukan semata faktor individu, melainkan kondisi lingkungan masyarakat kita memang memperburuk kondisi para ibu sehingga mereka kehilangan naluri keibuannya.
Saat ini kita hidup di bawah sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan negara lepas tangan dari peran mengurusi warganya. Sebaliknya, para penguasa malah sibuk memperkaya diri sendiri, keluarga, dan kroninya. Mereka juga begitu ambisius melakukan manuver politik demi syahwat kekuasaan. Akibatnya mereka abai terhadap kesejahteraan rakyat.
Lihat saja, harga barang-barang kebutuhan pokok melambung tinggi dan terus naik hingga rakyat kesulitan membelinya. Begitu juga dengan kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, BBM, listrik, dan gas. Semuanya sulit dijangkau karena dipatok dengan harga mahal oleh pemerintah.
Tidak heran, kondisi masyarakat yang tidak sejahtera ini pun mendorong terjadinya tindakan-tindakan nekat seperti menjual bayi semata demi mendapatkan uang yang sebenarnya jumlahnya tidak seberapa. Ini logis, karena manusia ketika kelaparan, pikirannya akan terfokus hanya pada upaya menghilangkan kelaparan itu. Apa pun caranya akan ia tempuh agar bisa makan. Meski harus melakukan hal-hal “gila” seperti menjual bayi, mereka akan menerjangnya, yang penting perutnya tidak keroncongan.
Demikianlah setiap hari, mereka hanya berpikir tentang cara bertahan hidup, yaitu agar bisa makan pada hari tersebut. Hal ini menjadikan pikiran mereka sempit.
Memang ada BPJS Kesehatan, tetapi iurannya tidak gratis sehingga harus dibayar tiap bulan sejumlah anggota keluarga. Ini tentu berat bagi masyarakat kalangan ekonomi lemah, sedangkan penerima bantuan iuran (PBI) jumlahnya sangat terbatas. Sedangkan jika menunggak, peserta harus melunasi dahulu tunggakannya agar bisa memperoleh layanan BPJS. Ini tentu butuh pengeluaran biaya lagi. Memikirkan semua kebutuhan ini di tengah impitan ekonomi jelas bisa membuat para ibu stres dan berpikir pendek dengan menjual saja bayinya agar tidak menjadi beban.
Faktor pendidikan juga berperan besar dalam kasus ini. Banyaknya kasus ibu yang menjual bayinya menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita gagal menghasilkan orang-orang yang bertakwa. Hal ini tidak lepas dari asas pendidikan yang sekuler dan tujuan pendidikan yang materialistis. Islam dijauhkan dari sistem pendidikan sehingga menghasilkan orang-orang yang berbuat semaunya dan tidak takut dosa.
Output pendidikan adalah orang-orang yang menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan amal perbuatan. Apa pun akan dilakukan asalkan memberi keuntungan secara materi, tanpa peduli halal-haram. Mereka juga abai akan kesadaran terkait Hari Penghisaban, yaitu saat manusia mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya di hadapan Sang Khalik, Allah Taala, serta azab yang pedih jika bermaksiat. Jelas, output pendidikan sekuler hanya membuat orang berpikir dangkal tentang hidupnya di dunia, tanpa memikirkan konsekuensi di akhirat kelak.
Solusi Islam
Banyaknya kasus ibu menjual bayinya tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Hal ini karena Islam menetapkan peran negara sebagai ra’in, yaitu pengurus urusan rakyat dan bertanggung jawab atas urusan tersebut. Rasulullah saw. bersabda,
“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).
Dengan posisi negara sebagai ra’in ini, penguasa akan menjamin kesejahteraan tiap-tiap rakyat. Negara (Khilafah) akan menerapkan politik ekonomi Islam yaitu jaminan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan). Negara juga mewujudkan kemampuan rakyat untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier.
Khilafah memiliki mekanisme untuk mewujudkan jaminan kesejahteraan tersebut, yaitu membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya dengan melakukan industrialisasi sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja. Negara juga memberikan bantuan modal dan keterampilan bagi rakyat yang ingin membuka usaha. Pada kondisi yang lain, negara akan memberikan tanah yang menganggur pada rakyat untuk dikelola sehingga produktif dan menjadi sumber mata pencarian.
Khilafah juga menerapkan sistem pengupahan yang adil sehingga pekerja mendapatkan upah yang layak, sesuai dengan manfaat yang mereka berikan. Upah tersebut utuh diterima oleh pekerja tanpa ada pungutan, potongan pajak, maupun iuran ini-itu karena pendidikan dan kesehatan sudah dijamin negara.
Khilafah bahkan mendorong para ibu untuk memiliki anak. Khilafah akan menyubsidi bahkan menggratiskan layanan kesehatan, termasuk untuk ibu hamil, melahirkan, dan menyusui. Dengan demikian, orang tua tidak stres memikirkan biaya periksa kehamilan, persalinan, dan pengobatan anak.
Bahkan Khilafah bisa memberikan santunan bagi ibu yang melahirkan. Hal ini sebagaimana yang diterapkan pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra.. Beliau memberikan santunan bagi para ibu yang diberikan segera setelah mereka melahirkan sehingga makin membahagiakan para ibu.
Tidak hanya bagi sang ibu, Khilafah juga akan memperhatikan gizi para bayi dan balita sehingga tidak ada kasus kurang gizi ataupun stunting. Orang tua tidak perlu khawatir akan masa depan anak karena negara menjamin kesehatan dan pendidikan anak hingga ia bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Dengan demikian, masyarakat terbentuk dari individu-individu yang bertakwa. Setiap amal perbuatan anggota masyarakat akan ditimbang berdasarkan syariat Islam. Ketika hendak berperilaku, akan selalu dipikirkan balasan dari perbuatannya di dunia dan akhirat. Halal-haram menjadi tolok ukur perbuatan, bukan menurut asas kebebasan dan prinsip materialistis.
Demikianlah, penerapan Islam kafah oleh Khilafah akan membuat fungsi keluarga menjadi optimal. Ayah berperan menjadi pemimpin keluarga. Perempuan menjadi ibu dan pengatur rumah tangga. Keduanya mendidik anak-anak dengan baik berdasarkan syariat Islam. Dengan demikian, anak terjaga keamanannya, tidak ditelantarkan atau diperjualbelikan.
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar