OTAK ATIK DANA PENDIDIKAN, HAK RAKYAT TERUS DISOAL?


Oleh : Mial,A.Md.T (Aktivis Muslimah)

Kementerian Keuangan tengah mewacanakan perubahan pengalokasian anggaran pendidikan dari berbasis belanja negara menjadi berbasis pendapatan negara. Alasan di balik usulan ini adalah bahwa anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, yang berdasarkan belanja negara, cenderung fluktuatif dan berpotensi menyulitkan pengelolaan keuangan negara. (Bisnis; 06 September 2024).

Selain itu, jika masih mengacu pada belanja negara, ada risiko peningkatan defisit APBN. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengemukakan bahwa belanja APBN 2022 mengalami lonjakan akibat peningkatan subsidi energi, yang berdampak pada kenaikan anggaran pendidikan untuk memenuhi ketentuan minimal 20% dari belanja APBN. Padahal, kenaikan subsidi energi disebabkan oleh harga minyak dunia yang tinggi, bukan karena peningkatan pendapatan negara. Hal ini mengakibatkan defisit APBN semakin membesar. (Bisnis; 06 September 2024).

Meskipun anggaran pendidikan penuh polemik, mulai dari tidak tepat sasaran hingga indikasi korupsi, bukan berarti anggaran tersebut layak dikurangi. Reformulasi seharusnya dilakukan untuk mendorong perbaikan efektivitas dan kualitas belanja fungsi pendidikan, bukan sekadar mengubah perhitungan anggaran berdasarkan belanja atau pendapatan negara.

Salah satu bukti ketakefektifan anggaran pendidikan saat ini adalah tidak terserapnya anggaran pendidikan hingga Rp111 triliun atau hanya terserap sebesar 16% dari pagu APBN 2023. Padahal, masalah pendidikan akibat kurangnya biaya masih menjadi pekerjaan rumah, seperti Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang semakin tidak terjangkau, gedung sekolah yang rusak, dan nasib guru honorer yang digaji tidak memadai.

Paradigma Kapitalisme: Pemerintah semakin menunjukkan karakter kapitalistiknya dengan kembali mengubah dana pendidikan. Tahun lalu, mandatory spending (belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang) untuk kesehatan dihapuskan. Kini, mandatory spending untuk pendidikan juga terancam dihapuskan.

Hal ini semakin membuktikan bahwa pemerintah semakin lepas tangan terhadap pemenuhan hak-hak rakyatnya. Padahal, pendidikan berkualitas adalah kunci untuk mewujudkan negara yang maju.

Mengapa pemerintah semakin abai terhadap kebutuhan rakyat? Semua itu tidak bisa dipisahkan dari paradigma kepemimpinan kapitalistik. Negara dengan kepemimpinan kapitalistik memandang rakyat sebagai pembeli dan memosisikan penguasa sebagai pihak penjual, sehingga hubungan antara keduanya sebatas untung-rugi. Dalam hal ini, pemerintah tentunya tidak mau rugi dan ingin selalu untung.

Perubahan anggaran pendidikan yang berdasarkan pada perhitungan anggaran dan bukan pada kebutuhan biaya pendidikan itu sendiri, menunjukkan bahwa pemerintah menganggap pendidikan sebagai beban yang dapat memperbesar defisit APBN. Selain itu, negara cenderung menyerahkan urusan pendidikan kepada sektor swasta. Sekolah-sekolah swasta menjamur, dibarengi dengan ketersediaan fasilitas yang baik, tetapi hanya golongan menengah ke atas yang dapat merasakan pendidikan berkualitas.

Kepemimpinan kapitalistik dalam sistem politik demokrasi yang penuh dengan orang-orang bermental oportunis membuat dana pendidikan yang sedikit tetap saja dikorupsi. Mereka menutup mata terhadap anak-anak yang bahkan tidak memiliki seragam dan buku untuk sekolah serta nasib guru honorer yang gajinya tidak memadai. Rendahnya gaji mereka jelas membuat kualitas pendidikan menurun karena para guru tidak fokus mendidik siswa, melainkan harus mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Sistem Pembiayaan Pendidikan dalam Khilafah

Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang menjadi tanggung jawab negara. Pembiayaan pendidikan tidak didasarkan pada pendapatan atau belanja negara, melainkan pada kebutuhan pendidikan itu sendiri. Pembahasan anggaran fokus pada kemaslahatan umat, bukan semata kemudahan perhitungan apalagi berdasarkan kepentingan penguasa. Seluruhnya akan ditanggung negara tanpa ada campur tangan pihak lainnya. Jika kas negara (baitulmal) tidak mencukupi, kewajiban pendidikan akan dibebankan kepada umat.

Namun, kosongnya kas negara Islam (Khilafah) sangat jarang terjadi karena kas tersebut memiliki pemasukan yang melimpah. Kekuatan finansial Khilafah, yang dikelola melalui baitulmal, memungkinkan penyelenggaraan pendidikan berkualitas. Kekuatan baitulmal ini berasal dari pengaturan yang sangat baik yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Terlebih di negeri yang kaya akan SDA, regulasi kepemilikan dalam Islam mengharamkan pihak swasta memiliki dan mengelola SDA sehingga pemerintah akan mandiri mengelola SDA tersebut. Inilah yang akan menjadi pemasukan utama baitulmal dan menjadi bekal untuk terwujudnya sistem pendidikan terbaik dan berkualitas.

Sumber pendapatan negara menurut syariat terbagi menjadi tiga, yakni dari fai dan kharaj, kepemilikan umum, serta zakat. Dana untuk layanan publik, termasuk pendidikan, dapat dialokasikan dari pos kepemilikan umum. Ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api; dan harganya adalah haram.”

Dengan kas negara yang memadai, negara dapat mengelola pendidikan secara mandiri, sehingga pendidikan bisa tersedia secara murah atau bahkan gratis. Meskipun individu juga bisa berkontribusi dalam pembangunan pendidikan dengan dorongan keimanan, seluruh pengelolaan pendidikan tetap berada di bawah kontrol negara. 

Sungguh, nasib anggaran pendidikan akan semakin suram selama sistem pendidikan berada dalam cengkeraman kepemimpinan kapitalisme. Pendidikan bagi rakyat dianggap sebagai beban yang merugikan negara. Sebaliknya, dalam pandangan Islam, pendidikan adalah hak dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah bagi seluruh rakyatnya secara adil dan merata sehingga negara akan berupaya untuk menyediakannya dengan optimal. Bukan hanya pendidikan, seluruh kebutuhan umat bahkan akan terpenuhi dengan layak. Inilah jaminan hidup berkualitas dalam naungan Daulah Khilafah Islamiah. 

Wallahualam bissawab.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Generasi Sadis, Buah Penerapan Sekularisme

Generasi Sadis Produk Sekularisme

Palak Berkedok Pajak